Kamis, 19 Desember 2024

Peran Indonesia untuk Perdamaian Dunia Melalui Deklarasi Djuanda

Pada masa Kabnet Ali Sastroamidjojo II (24 Maret 1956-14 Maret 1957), batas wilayah laut Indonesia mulai mendapat perhatian. Pada saat itu, batas wilayah laut Indonesia mengacu pada peraturan warisan Belanda, yaitu Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnatie (TZMKO 1939). Peraturan tersebut dirasa merugikan Indonesia karena pulau-pulau di Indonesia dipisahkan oleh laut disekelilingnya. Selain itu, setiap pulau hanya mempunyai kedaulatan laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai. Hal ini berarti kapal asing bebas berlayar diatas perairan laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Pada waktu itu, kita masih bersengketa dengan Belanda terkait kasus Irian Barat. Dengan kata lain, kedaulatan setiap pulau di Indonesia dalam kondisi rentan. 

Kolonel Laut R.M. S. Pirngadi ditunjuk oleh Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo untuk memimpin tim yang bertugas membuat RUU tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Setelah sekitar setahun, akhirnya tim berhasil menyusun RUU yang memuat perubahan batas laut teritorial. Batas laut yang sebelumnya 3 mil berubah menjadi 12 mil. RUU tersebut belum sempat disetujui karena kabinet Ali II kemudian bubar. Kabinet Ali II kemudian digantikan oleh Kabinet Djuanda. Di bawah Perdana Menteri Djuanda inilah, pemerintah Indonesia memperjuangkan pengesahan dan pengakuan batas dan teritorial Indonesia di dunia Internasional.

Perdana Menteri Djuanda menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum dalam mengesahkan batar wilayah laut Indonesia tersebut. Mr. Mochtar Kusumaatmaja kemudia memberikan gagasan yang disebut "archipelago principle" atau "asa arsipelago". Gagasan tersebut telah ditetapkan oleh Makhkamah Internsional pada 1951.

Pada 13 Desember 1957, segera setelah sidang kabinet, pemerintah Indonesia mengeluarkan Pengumuman Pemerintah. Pengumuman tersebut kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda. Mulai saat itu, fungsi laut tidak lagi sebagai pemisah antarpulau di Indonesia sebagaimana masa lalu, terutama di zaman kolonial. Namun, fungsi laut berubah menjadi alat pemersatu bangsa dan sebagai wahana bagi pembangunan, keamanan, dan pertahanan nasional. Isi dari Deklarasi Djuanda kemudian dijadikan undang-undang, yaitu Undang-Undang No. 4/PRP/tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Undang-Undang tersebut berbunyi : 

Pasal 1:

  1. Perairan Indonesia adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalam Indonesia.
  2. Laut wilayah Indonesia adalah lajur laur selebar dua belas mil yang garis luarnya dukur tegak lurus atas garis dasar atau titik pada garis dasar yang terdiri atas garis-garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada garis air rendah daripada pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang terluar dalam wilayah Indonesia, dengan ketentuan bahwa jika ada selat yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut dan Negara Indonesia tidak merupakan satu-satunya negara tepi, maka garis batas laut wilayah Indonesia ditarik pada tengah selat.
  3. Perairan pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam dari garis dasar sebagai yang dimaksud pada ayat (2).
  4. Mil laut adalah seperenam puluh derajat lintang.
Pasal 2:
Pada peta yang dilampirkan pada peraturan ini, ditentukan dengan jelas letak titik-titik serta garis-garis yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2).

Pasal 3:
  1. Lalu-lintas laut damai dalam perairan pedalaman Indonesia terbuka bagi kendaraan air asing.
  2. Dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur lalu-lintas laut damai yang dimaksud pada ayat (1).
Pasal 4:
  1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada hari diundangkannya.
  2. Mulai hari tersebut pada ayat (1) tidak berlaku lagi Pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai 4 "Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939" (Staatsblad 1939 No. 442).
Deklarasi Djuanda yang diberlakukan Indonesia ini mendapat protes dari dunia internasional, contohnya Inggris, Amerika, Australia, Prancis, Belanda, dan Selandia Baru. Setelah 37 tahun, Deklarasi Djuanda baru mendapat pengakuan dari dunia internasional. Pengakuan tersebut didapatkan melalui Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut di Montego Bay, Jamaika, tahun 1982 atau Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention of the Law of the Sea [UNCLOS]).

0 Comments:

Posting Komentar