Jumat, 15 November 2024

Tokoh Pergerakan Kaum Muda dan Pemikirannya - Mohammad Natsir

Semangat Islam begitu mendarah daging dan mengilhami untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Mohammad Natsir adalah seorang yang turut berkontribusi besar dalam percaturan politik Indonesia dalam mengapai kemerdekaan. Perkenalannya dengan A. Hasan, seorang pembaharu Islam, ketika bersekolah di Bandung, membawa Ntsir semakin mendalami pengetahuannya tentang Islam.

Mohammad Natsir menempuh pendidikan awalnya di Sekolah Kelas II di Maninjau pada 1916. Hanya berselang beberapa bulan, ia memutuskan untuk pindak ke sekolah swasta, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Keinginannya untuk mengenyam pendidikan di HIS milik pemerintah harus terbentur akibat ayahnya hanya seorang pegawai rendahan. namun, ketika pemerintah membuka HIS di Solok, ia diterima dan langsung duduk di kelas dua.

Pasca menamatkan pendidikannya di HIS, Natsir bersekolah di Meer Uitgebreid Lageree School (MULO) di Padang lewat jalur beasiswa. Pendidikan di MULO berhasil ia rapungkan pada 1927. Natsir kemudian meneruskan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS), mengambil jurusan sastra Barat klasik dan lulus tiga tahun berselang. Ia sempat menolak tawaran beasiswa di Recht Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) karena ingim memperdalam ajaran Islam.

Nafas pergerakan seorang Natsir diasah melalui berbagai organisasi. Ketika masih sekolah, ia masuk organisasi Natipij. Ia juga bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB), bahkan menduduki jabatan sebagai wakil ketua pada 1929-1932 ketika ia di Bandung. Kegemilingannya di JIB membawanya mengemban jabatan sebagai ketua Kern-Lichaam (Badan Inti) JIB Pusat. Sementara itu, demi memajukan dunia pendidikan, terutama Islam, ia mendirikan sekolah sendiri bernama Pendidikan Islam.

Berawal dari keaktifannya di JIB, Natsir mulai merambah dunia politik dengan menjadi Ketua Parati Islam Indonesia (PII) Cabang Bandung. Ketika Jepang mulai menggantikan Belanda untuk menduduki Nusantara, Natsir memegang jabatan sebagai Kepala Jawatan Pengajaran Kotapraja Bandung dan menjadi Sekretaris Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). MIAI merupajan cikal bakal Majelis Syuro Mislimin Indonesia (Masyumi). Setelah Indonesia merdeka, Natsir memegang pucuk pimpinan partai tersebut pada 1948 sampai 1959.

Natsir dipecaya menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada November 1945. Karir politiknya berlanjut dengan menduduki jabatan Menteri Penerangan pada tiga kabinet yang berbeda, yakni Kabinet Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Hatta. Ia sempat dipenjarakan ketika Belanda berhasil menduduki Ibu Kota Yogyakarta, 19 Desember 1948.

Setelah tercapai kesepatakan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda melalui Konferensi Meja Bundar akhir 1949, sebagai konsekuensinya, Indonesia berbentuk negara serikat (Republik Indonesia Serikat) yang terdiri dari beberapa negara bagian, Natsir menolak konsep tersebut dengan mengajukan "Mosi Integral Natsir". Mosinya diterima oleh parlemen dan Indonesia kembali menjadi neagara kesatuan semenjak 17 Agustus 195.

Kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan ternyata menyebabkan beberapa konflik yang muncul dari daerah. Sebagai Perdana Menteri sejak 6 September 1950, Natsir harus menghadapi berbagai persoalan seperti separatisme yang dilancarkan oleh Andi Aziz, Republik Maluku Selatan, DI/TII; masalah otonomi di Aceh; serta mengembalikan laskar pejuang ke masyarakat. Kabinet yang dipimpinnya tak bertahan lama. Ia harus melepaskan jabatannya sejak April 1951 dan kembali memimpin fraksi Masyumi di Parlemen (1951-1958) serta Konstituante (1956-1958).

Tak hanya berkiprah di bidan gpolitik, latar belakang pendidikan agamanya yang kuat sejak kecil membawanya mendapat pengakuan dunia internasional. Pada 1976, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Karachi, Pakistan serta menjadi anggota Liga Muslimin Dunia. Ia juga tercatat sebagai bagian dari Majelis Ta'sisi rabithah Alam Islami pada 1972. Tak lama ia diganjar penghargaan "Faisal Award" dari Kerajaan Arab Saudi.

Setelah tak aktif di bidang politik praktis, Natsir masih menyumbangkan perannya bagi pemerintah Indonesia. Ia turut membantu pemerintah dalam pemulihan hubungan dengan beberapa negara seperti Malaysia, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah.

Natsir menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 februari 1993. Namun, jejak jasanya bagi Indonesia begitu terasa. Tak hanya memajukan dunia keislaman Indonesia yang mampu melancarkan agitasi terhadap pendudukan asing, tetapi ia mampu menumbuhkan sikap cinta tanah air serta menjada Indonesia tetap bersatu. Sebagai bentuk apresiasi, Pemerintah Indonesia mengganjarnya gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.

0 Comments:

Posting Komentar