Lahir di sebuah desa kecil bernama Talawi, dekat Sawahlunto, Sumatra Barat, 23 Agustus 1903, Mohammad Yamin adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Usman, ayahnya bekerja di perkebunan kopi milik sebuah perusahaan Belanda sebagai seorang pengawas. Kelak, saat dewasa, ia berperan besar bagi tumbuhnya identitas kebangsaan Indonesia.
Hasrat kemajuan sudah tertanam di pikiran Yamin sejak kecil. Merasa tak mendapatkan pengetahuan bahasa Belanda saat belajar di Sekolah Kelas II Bumiputra, ia memilih berpindah ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS). Ia lalu meneruskan pendidikannya ke Sekolah Guru di Bukittinggi. Ketertarikannya kepada sejarah, sastra, kebudayaan, maupun politik membawanya ke AMS (Algemeene Middelbare School) Yogyakarta, setelah sebelumnya tak betah ketika belajar di Sekolah Dokter Hewan dan Pertanian di Bogor. Pendidikan tinggi ia tamatkan di RHS Hoge School, Perguruan Tinggi Hukum yang memberikan gelar Mr. (Meester in de rechten [Sarjana Humum]) kepadanya pada 1932.
Kegemarannya membaca dan menulis membuat pengetahuannya kian terasah. Ia memiliki koleksi buku melebihi 20.000 buah. Tercatat, ia menerbitkan beberapa karya seperi Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Gajahmada (1948), Diponegoro (1945), Tan Malaka (1946), dan Sapta Darma (1950). Lewat karyanya, ia memberi semangat kepada bangsa Indonesia untuk maju dan mencintai kebudayaannya demi kemerdekaan.
Mohammad Yamin turut menyumbangkan perannya bagi pergerakan pemuda. Saat masih bersekolah di Sumatra Barat, ia menjadi pemimpin Jong Sumatranen Bond. Pada perayaan organisasi tersebut yang ke-5 di Jakarta, pada 1923, ia menyampaikan pidato berintikan bahwa bahasa Melayu akan menjadi bahasa kebangsaan. Pemikiran mengenati pentingnya bahasa kebangsaan kembali ia utarakan saat berlangsungnya Kongres Pemuda I yang di selenggarakan pada 30 April - 2 Mei 1926, di Jakarta. Ia menutup pidatonya dengan "Sejarah kini ialah, menuju nasionalisme yang dalam dan luas, ke arah kemerdekaan dan tujuan yang lebih tinggi, agar Indonesia dapar mempersembahkan kepada dunia hadiah yang lebih berharga dan lebih indah selaras dengan kebangsaan kita". Gagasan Yamin akhirnya mengilhami para pemuda saat berlangsungnya Kongres Pemuda II, 27-28 Oktober 1928 dengan mengikrarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Dalam pidatonya pada Kongres Pemuda II, Yamin mengajak para pemuda untuk menumbuhkan nasionalisme Indonesia. Kecintaan kepada sebuah negara yang didasari keluruhan bangsa dan tanah air dengan sepenuh hati. Yamin mengatakan bahwa cita-cita kemerdekaan bukanlah hanya sebatas harapan yang tak akan diraih, tetapi kerja keras adalah jalan untuk mencapai tujuan tersebut.
Partai politik menjadi wadah Yamin guna menyalurkan aspirasi politiknya. Ia sempat bergabung dengan Partai Partindo dan Gerindo, sebelum akhirnya mendirikan Parpindo (Partai Persatuan Indonesia) pada 1939. Yamin beberapa kali menduduki jabatan penting di pemerintahan. Perselisihannya dengan Gerindo malah membawanya menduduki jabatan sebagai anggota volksraad (Dewan Rakyat era kolonialisme Belanda) karena dicalonkan oleh kelompok Minangkabau pada periode 1938-1942. Ketika Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda atas Nusantara, ia dipercaya menjabat sebagai penasihat (Sanyo) pada Departemen Propaganda (Sendebu). Menjelang masa akhir kependudukan Jepang, Yamin terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Junbi Cosakai). Ketika cita-cita kemerdekaan semakin mendekai kenyataan, ia bergabung dengan Panitia Sembilan menyusun Piagam Jakarta yang nantinya disebut Pancasila, ideologi negara Indonesia.
Kebebasan dari penjajah akhirnya dapat diraih setelah Sukarno memproklamasikan kemerdekaan yang menandai berdirinya Indonesia. Namun, Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia dan melancarkan serangan militer di beberapa daerah. Revolusi fisik menjadi usaha Indonesia untuk mempertahankan diri, di samping menempuh usaha jalur diplomasi. Sebagai seorang birokrat, Yamin terlibat menjadi Penasihat Delegasi Indonesia dalam usahanya menyelesaikan konflik dengan Belanda lewat Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Kesepakatan akhirnya dicapai oleh kedua belah pihak yang sedang berseteru.
Pascarevolusi, Yamin kembali dipercaya menduduki beberapa jabatan di pemerintahan. Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955), dan Ketua Dewan Perancang Nasional (1962) adalah sederet jabatan yang pernah diemban oleh Yamin. Kontribusi Yamin bagi Indonesia begitu nyata. Selain mampu menumbuhkan semangat nasionalisme, ia menanamkan semangat kemajuan bagi kaum muda untuk mencapai keberhasilannya.
0 Comments:
Posting Komentar