Rabu, 13 November 2024

Tokoh Penggerak Kaum Muda dan Pemikirannya - Tan Malaka

Tan Malaka memiliki peran penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, namanya hampir tidak pernah disebut dalam buku pelajaran sejarah, apalagi ketika rezim Orde Baru berkuasa. Hal ini karena ideologi Tan Malaka adalah aliran marxisme. Setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, tokoh ini dilarang untuk diketahui apalagi dipelajari di ranah pendidikan. 

Tan Malaka lahir pada 2 Juni 1897 di Desa Suliki, Pandam Gadang, Sumatera Barat, dari keluarga terpandang dengan nama asli Ibrahim. Pendidikan dasarnya dimulai ketika ia memasuki Sekolah Latihan Guru (Kweekschool) di Bukittinggi. Tan Malaka merupakan siswa yang cerdas di sekolahnya. Kecerdasan yang dimilikinya menarik perhatian salah seorang gurunya yang bernama G.H. Horensma yang berkebangsaan Belanda. Ia kemudian mencarikan dana beasiswa agar Tan Malaka dapat bersekolah guru di Haarlem Belanda. Haarlem merupakan sebuah kota kecil yang nyaris mengalami kebangkrutan karena ditinggalkan oleh ratusan pabrik bir yang gulung tikar. Di tempat ini, Tan Malaka mulai berkenalan dengan sosialisme dan Marxisme. 

Marxisme merupakan ideologi yang berasal dari Karl Mark. Dalam ajarannya, Karl Marx menggariskan bahwa penindasan yang terjadi dalam sebuah masyarakat berakar dari ulah para kapitalis atau para pemilik modal. Dalam mencari keuntungan, para kapitalis ini tidak ragu-ragu untuk melakukan eksploitasi dari hasil kerja para buruh. Mereka akan memberikan upah yang rendah atau mengikat para buruh ini dengan utang yang diperlukan untuk menutup kebutuhan hidup sehari-hari.

Pada 1919, setelah kembali dari pendidikannya di Belanda, Tan Malaka berkesempatan menjadi guru pada Maskapai Sanembah di Tanjung Morawa, Deli, Sumatra Timur, untuk mengajar anak-anak para buruh dan kuli yang bekerja di maskapai tersebut. Selama menjadi guru, Tan Malakan selalu melakukan pengamatan terhadap nasib para buruh yang ternyata berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Upah yang kecil, bekerja antara 8-12 jam sehari, dan diberi tempat tinggal yang tidak layak huni. Dari pengamatannya inilah ideologi Marxisme semakin lekat di hati dan mendominasi pikiran, kepribadian, serta tindakan Tan Malaka.

Pada 1921, Tan Malaka pergi ke Jawa dan bertemu dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam. Tan Malaka juga dekat dengan ide-ide Pan-islamisme (persatuan Islam dunia) yang membuat dirinya dianggap sebagai tokoh yang kontroversial oleh rekan-rekannya dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurutnya, antara komunisme dan Islam seharunya tidak boleh terjadi perpecahan. Hal ini dikemukakan Tan Malaka ketika SI pecah menjadi dua aliran, yaitu SI Putih yang tetap bertahan sebagai organisasi berlandaskan nilai-nilai keislaman, dan SI Merah yang berdasarkan komunisme. 

Tan Malaka kemudian diangkat menjadi ketua PKI dalam usianya yang ke-25 saat itu. Menurut para pendiri PKI yang lebih senior ketika itu, seperti Semaun dan Darsono, hal ini dianggap sebagai posisi yang terlalu cepat diraih Tan Malaka. Di bawah kepemimpinan Tan Malaka, PKI mengobarkan semangat antikapitalisme dan memperjuangkan nasib rakyat yang tertindas. Akibatnya, terjadi aksi-aksi mogok kerja di berbagai maskapai atau perusahaan Belanda yang mempekerjakan banyak buruh pribumi. Pemerintah Belanda tidak tinggal diam, ribuan buruh kemudian ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. 

Tan Malaka pun tidak luput dari penangkapan, tetapi ia diminta kepala pemerintah kolonial Belanda untuk dibuang ke negeri Belanda saja. Semua ongkos pembuangan akan ditanggung oleh Tan Malaka sendiri. Dari Belanda, ia kemudian pergi e Berlin (Jerman) dan selanjutnya ke Moskow (Uni Soviet) untuk mengikuti Kongres Komintern (Komunis Internasional) sebagai utusan dari PKI. Nama-nama seperti Vladimir Lenin, Joseph Stalin, dan Leon Trotsky bagi aktivis komunis pada 1920-1n bukan nama-nama biasa. Mereka dianggap sebaga tokoh yang paling berpengaruh bagi gerakan kaum revolusioner dunia. Tan Malaka tentu sangat beruntung ketika dapat bertemu dengan mereka. Dalam kongres tersebut, Tan Malaka mendapat kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya dengan berpidato. Melalui pdato yang disampaikan dalam bahasa Jerman yang tidak terlalu lancar, Tan Malaka mengatakan bahwa dalam pemikirannya masih diperlukan persatuan antara kekuatan Islam (Pan-islamisme) dan gerakan komunisme. Menurutnya, hal ini merupakan alat yang paling cocok untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan. Meskipun tidak mendapat tanggapan yang serius dalam kongres Komintern tersebut, Tan Malaka kemudian diberi tugas untuk mengembangkan organisasi-organisasi komunis di Asia. Tugas inilah yang sempat membawanya ke Tiongkok bertemu dengan Dr. Sun Yat Sen.

Ketika PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1926, Tan Malaka menyetujui tindakan tersebut. Akibat sikapnya ini, ia dianggap telah mengkhianati perjuangan partai. Pada saat pemberontakan terjadi Tan Malaka tengan berada di Manila, Filipina. Selah itu pada 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di Bangkok, Thailand. Meskipun bukan merupakan partai massa, organisasi ini hidup selama sepuluh tahun. Selama hidupnya, Tan Malaka banyak menulis buku diantaranya Materialisme, Dialektika, Logika (Madilog) dan Gerilya, Politik, dan Ekonomi (Gerpolek). Salah satu bukunya yang berjudul Menuju Republik Indonesia, yang ditulis pada tahun 1925, banyak dibaca oleh para pemimpin pergerakan pada masa itu. Tan Malaka memang bukan tokoh yang selalu tampil ke depan, tetapi lebih seperti legenda di belakang layar. Namun demikian, ia adalah tokoh yang memiliki sikap konsisten dalam berpolitik. Dalam Madilog, ia menuliskan tentang pentingnya ilmu pengetahuan untuk membangun masyarakat dan menganjurkan tentang kemandirian bangsa. 

Di seputar proklamasi, Tan Malaka mencatatkan peran yang penting dalam memobilisasi para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas) pada 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Namun sejak 1946, Tan Malaka bersikap bersebrangan dengan pemerintahan yang baru ini. Ia menentang diplomasi yang dianggap sangat merugikan Indonesia. Ia menyuarakan dengan keras bahwa perundingan baru dilakukan apabila Belanda telah mengaki kemerdekaan Indoenesia 100%. Meskipun tumbuh sebagai tokoh yang melanglang buana berjuang untuk bangsa dengan ideologi yang dipahaminya, hidup Tan Malaka pun berakhir di ujung senapan tentara Republik Indonesia saat perang gerilya pada 1949.

0 Comments:

Posting Komentar