Reformasi memiliki pengertian sebagai sebuah gerakan radikal yang bertujuan memperbaiki kondisi masyarakat atau negara di segala bidang. Reformasi menghendaki digantinya tatanan kehidupan lama dengan sebuah tatanan kehidupan baru, berdasarkan pada hukum yang berlaku dan mengarah kepada sebuah perbaikan. Pada 21 Mei 1998 menjadi momentum penting dari sejarah sosial politik di Indonesia, Presiden Soeharto yang berkuasa lebih dari 30 tahun menjadi karakter tunggal, simbol pemersatu kekuatan militer, serta pemegang kekuasaan birokrasi dan korporasi, dapat dilengserkan oeh kekuatan sosial yang dimotori oleh para mahasiswa.
Lengsernya Presiden Soeharto didahului oleh gelombang aksi protes dan keresahan sosial yang menyebar ke seluruh Indonesia. Menurut Samuel P. Hutington (1991), kondisi ini telah membuat Indonesia masuk pada suatu fase "Gelombang Demokrasi Ketiga" (The Third Wave World of Democratization). Gelombang aksi protes yang dimotori oleh mahasiswa ini dipicu oleh beberapa faktor, diantaranya krisis multidimensional yang bermuara pada krisis kepercayaan pada pemerintahan yang telah berkuasa sangat lama.
Keterpurukan perekonomian Indonesia pada masa akhir Orde Baru didorong oleh adanya krisis di dunia perbankan nasional. Pemerintah Indonesia saat itu telah melikuidasi 16 bank swasta dan pada 1997 melakukan pengawasan terhadap 40 bank bermasalah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Pemerintah juga telah mengeluarkan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) agar bank-bank bermasalah itu dapat keluar dari kondisi krisis. Sayangnya, kredit yang diberikan banyak dimanipulasi sehingga bank-bank bermasalah tersebut tidak dapat mengembalikan pinjamannya. Akibatnya, beban keuangan yang ditanggung pemerintah semakin membengkak. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya kepercayaan dunia Internasional terhadap kondisi politik dan ekonomi di Indonesia. Pemerintahan Presiden Soeharto dinilai tidak mampu memecahkan masalah ekonomi dan politik yang terus bergulir.
Perlu kita pahami bahwa peristiwa Reformasi 1998 tidak hanya sekadar periode pergantian kekuasaan, tetapi juga harus dimaknai sebagai sebuah akumulasi dari krisis multidimensional. Hal ini merupakan dampak dari sistem politik yang tidak demokratis. Di samping itu, kurangnya kemandirian dari lembaga-lembaga negara dalam membuat kebijakan yang memihak kepada kepentingan rakyat. Pada akhirnya berujung pada sebuah aksi massa yang menyuarakan tuntutan terhadap beberapa masalah, yakni sebagai berikut.
- Menganti kepemimpinan yang selama 30 tahun lebih berada di tangan Presiden Soeharto.
- Melakukan amandemen terhadap UUD 1945 yang telah dijadikan sebagai konstitusi negara dan menjadi dasar dari seluruh undang-undang.
- Menghapus dwifungsi ABRI, yakni tugas tambahan yang diberikan kepada ABRI berupa tugas politik telah membawa dapak yang kurang baik untuk ABRI sendiri maupun seluruh bangsa Indonesia. Eksistensi dwifungsi ABRI dipandang telah memberikan keleluasaan kepada militer untuk terlibat dalam agenda-agenda sosial politik pemerintah. Keterlibatan ini tentu saja telah melampaui kewenangan ABRI jika dilihat dari tugas pokoknya, yaitu menjaga keamanan dan pertahanan negara. Hal ini terlihat selama pemerintahan Presiden Soeharto, eksistensi ABRI digunakan untuk mengawasi dan membatasi hak-hak politik rakyat sipil maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya warga negara Indonesia.
- Memberikan otonomi daerah yang seluas-luasnya. Pemerintahan Orde Baru telah menerapkan sistem pemerintahan yang sentralistik sehingga seluruh urusan diatur pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya sebagai pelaksana instruksi. Sistem ini telah mematikan kreativitas pemerintah daerah sehingga pembangunan daerah berjalan tersendat.
- Penegakan supremasi hukum. Sudah seharusnya pemerintahan Orde Baru melanjutkan cita-cita para pendiri bangsa bahwa keadilan bagi rakyat harus terlaksana. Namun, hal ini tidak dapat terwujud menjadi kenyataan karena aparat penegak hukum berada di bawah kendali pemerintah.
- Dibentuk pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pengawasan DPR dan para penegak hukum yang lemah telah menyuburkan praktik KKN. Hasil-hasil pembangunan hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki kedekatan dengan pusat kekuasaan.
Sementara gerak pemuda dan mahasiswa semakin keras menyuarakan agenda reformasi, pemerintah menerapkan kebijakan yang sangat reaktif, yaitu mencabut subsidi BBM yang diumumkan pada 4 Mei 1998. Suasana yang penuh ketidakpastian ini menggoyahkan stabilitas politik. Suara rakyat yang didukung mahasiswa, semakin gencar meminta presiden Soeharto turun dari jabatannya. Puncaknya, ketika aparat keamanan mulai menembaki kampus Trisakti pada 12 Mei 1998. Saat itu sedang berlangsung aksi demonstrasi anti-pemerintah yang berlangsung dengan penuh semangat. Peristiwa penembakan ini mengakibatkan tewasnya empat mahasiswa Trisakti, yaitu Elang Mulia Lesmana, Hafidin Royan,Heri Hartanto, dan Hendrawan Sie. Penembakan ini kemudian memicu aksi demonstrasi yang lebih besar lagi. Mahasiswa mulai turun ke jalan, dan dengan cepat berkembang hingga ke luar Jakarta, seperti di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sambil terus meneriakkan tuntutan Reformasi.
Aksi demonstrasi kemudian disusul dengan kerusuhan massal yang berlangsung dari 13-15 Mei 1998. Aktivitas ini dengan cepat merambat ke kota-kota besar, seperti Solo, SUrabya, Yogyakarta, Lampung, dan Palembang. Kerusuhan diwarnai dengan tindakan anarkis, seperti penjarahan dan pembakaran toko-toko, penyerangan pos polisi, serta pusat-pusat perdagangan yang mengakibatkan kegiatan ekonomi lumpuh total. Kerusuhan kemudian berkembang menjadi kerusuhan etnis dengan sasaran utama etnis Tionghoa. Banyakyang menjadi korban, tidak saja dalam bentuk moril, tetapi juga materiil. Hal yang lebih mengherankan adalah ketika kerusuhan terjadi tidak ada tindakan pencegahan yang serius dari aparat keamanan sehingga kerusuhan menjadi sangat anarkis.
Selanjutnya para mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998. Mereka terus menyerukan agar Presiden Soeharto segera turun dari jabatannya. Dua minggu setelah peristiwa di kampus Trisakti, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya selaku Presiden ke-2. Ia kemudian menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Sekali lagi kekuatan perjuangan mahasiswa yang murni dapat menumbangkan rezim otoriter dan mengubah sistem ketatanegaraan di Indonesia.
0 Comments:
Posting Komentar