Setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, memang tidak dengan serta merta membawa Indonesia ke dalam situasi yang aman dan tenteram. Layaknya sebuah negara yang baru saja menikmati kebebasan dari cengkraman kolonialisme, masih banyak persoalan pemerintahan, politik, dan ekonomi yang harus diselesaikan. Berbagai peristiwa pengalihan kekuasaan terjadi di hampir semua kota di Jawa dan Sumatra. Hal ini seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat barisan pemuda. Seruan dan tulisan-tulisan bernada heroik, sepperti "Merdeka atau Mati" dan "Sekali Merdekar Tetap Merdeka", terdengar dan tertulis dimana-mana. Bendera Merah Putih dikibarkan di kantor-kantor penting. Situasi ini akan dengan mudah memicu konflik dengan pihak Jepang.
Para pemuda juga menentang simbol-simbol yang menunjukkan kesan akan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia, seperti ketika di Hotel Yamato, Surabaya, dikibarkan bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut pada 19 September 1945. Beberapa orang dari mereka naik ke tiang bendera untuk menurunkan bendera tiga warna itu, merobek warna birunya, dan mengibarkan kembali dengan warna merah dan putih.
Peristiwa yang sangat mengundang risiko ini telah menunjukkan adanya keinginan yang dalam dari bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan meskipun harus berkorban jiwa. Insiden bendera ini selalu menjadi kenangan bagi bangsa Indonesia karena semangat patriotis yang ditunjukkan oleh para pemuda yang sangat spontan dan tanpa pamrih. Sama halnya dengan peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada yang terjadi di Jakarta. Ketika massa pemuda berkumpul di Lapangan Ikada untuk mendengarkan Presiden Soekarno berpidato setelah pelaksanaan proklamasi. Namun karena alasan keamanan, Soekarno membatalkan pidatonya.
Pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan yang baru terbentuk ini harus menghadapi sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan, seperti menyusun pemerintahan, membentuk Komite Nasional sebagai pembantu presiden mengurus tawanan Jepang, menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi antara para pemuda dan rakyat, baik dengan tentara Jepang maupun dengan tentara Sekutu dan NICA yang sudah mulai berdatangan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.
Bentrokan bersenjata terbesar antara para pemuda dan tentara Jepang terjadi di Semarang. Ribuan pemuda gugur dalam pertempuran yang berlangsung selama lima hari. September hingga memasuki awal November 1945, keadaan di Indonesia memang semakin rumit dan genting. Hal ini disebabkan masuknya tentara Sekutu ke kota-kota besar di Jawa.
Awalnya, kedatangan tentara Sekutu dalam kesatuan South East Asian Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten, disabut biasa saja oleh bangsa Indonesia. Pasukan khusus dari SEAC yang ditugaskan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang adalah Allied forces Netherlands Eas Indies. Pasukan khusus tersebut membawa serta orang-orang Belanda dalam kesatuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Tujuan kedatangannya adalah untuk menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda.
Rakyat Indonesia dengan cepat memberikan reaksi melalui pertempuran yang tercatat dalam sejarah, antara Oktober hingga Desember 1945 terjadi pertempuran di Medan, Palembang, Surabaya, dan Bandung. Pertempuran terbesar terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Ribuan nyawa melayang demi mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Di Bandung, perjuangan rakyatnya kemudian dikenang sebagai peristiwa Bandung Lautan Api. Peran pemuda dalam periode mempertahankan kemerdekaan ini sangat besar. Mereka berjuang bersama dan mengangkat senjata demi kehormatan bangsa Indonesia.
0 Comments:
Posting Komentar