Rabu, 20 November 2024

Gerakan Pemuda dan Mahasiswa yang Memengaruhi Perubahan Tata Negara di Indonesia - Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)

Pada awal 1965, kondisi dan situasi politik semakin terasa tidak kondusif. Politik luar negeri Indonesia pun telah meninggalkan konsep bebas aktif. Indonesia membangun dengan hubungan dengan Tiongkok, dan membentuk poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyong Yang, dan sebagai konstelasi politik dunia yang baru. dengan demikian, Indonesia semakin jauh dari negara-negara Barat dan semakin sejalan dengan haluan politik dari negara-negara blok Timur. Sikap permusuhan juga ditujukan secara khusus terhadap Amerika Serikat, dan semakin memuncak ketika 7 Januari 1965, Indonesia menyatakan secara resmi keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Situasi politik dalam negeri sendiri semakin menunjukkan kondisi meresahkan. PKI berhasil melakukan konsolidasi dalam tubuh partainya sendiri sejak tahun 1960-1965. Pada masa itu, kegiatan politik yang muncul di permukaan selalu menonjolkan kegiatan PKI dalam segala bidang. Hal ini menunjukkan bahwa partai ini telah duduk dengan kokoh dalam percaturan politik di Indonesia. Di kalangan mahasiswa, berkembang perseteruan antara kelompok consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisai mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI, dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rapat-rapat yang diselenggarakan CGMI di Istora Senayan Jakarta, selalu bertemakan "Bubarkan HMI". Hal tersebut merupakan sebuah tindakan agresif yang ingin menekan Presiden Soekarno agar segera membubarkan HMI. Akan tetapi, Soekarno sendiri tetap bertahan dengan ide Nasakomnya (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan tetap berkeinginan agar ketiga elemen politik tersebut tetap bersatu.

Konflik pro dan kontra terhadap PKI terus berlanjut hingga akhirnya bermuara pada sebuah tragedi nasional, yakni meletusnya peristiwa Gerakan 20 September 1965. Gerakan ini melibatkan anggota PKI dan kelompok tentara dari kesatuan Resimen Cakrabirawa yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selama melakukan konsolidasi dan membangun kekuatan partai, PKI selalu memperlihatkan sikap-sikap nonkompromi terhadap mereka yang tidak berhaluan kiri. Perbuatan yang dinilai telah melebihi batas kemanusiaan ketika terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal senior angkatan darat oleh Resimen Cakrabirawa, telah membangkitkan kemarahan di kalangan rakyat Indonesia. Gerakan mahasiswa non-komunis mulai bangkit dan membentuk organisasi baru yang mereka namakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra revolusi Gerakan Tiga Puluh September yang disingkat menjadi KAP Gestapu. Wadah baru organisasi mahasiswa ini juga menampung aspirasi masyarakat dan terus mengikuti perkembangan situasi.

KAP-Gestapu kemudian mengadakan rapat umum setelah sebelumnya mengadakan pertemuan untuk melakukan konsultasi dengan Letnan Jenderal Soeharto, (ketika itu menjabat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)) di Taman Surapati, Jakarta, pada 8 Oktober 1965. Hasil rapat tersebut menghasilkan kesepakatan, di antaranya tetap berada di belakang Presiden Soekarno dalam menumpas G30S dan mendesak Presiden agar segera membubarkan PKI dan semua ormas-ormasnya. Puncak gerakan KAP-Gestapu adalah ketika berhasil mengerahkan massa secara besar-besaran pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Pada Januari, KAP-Gestapu menjadi Front Pancasila dengan kegiatan yang lebih berfokus dalam bidang politik.

Gerakan para mahasiswa ini terus berlanjut, namun berjalan sendiri-sendiri di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Mereka dengan aktif mengadakan rapat-rapat dan menyerukan anti-PKI. Kegiatan ini akhirnya menghasilkan pemikiran untuk membentuk sebuah wadah yang dapat mempersatukan gerakan agar perjuangan berjalan semakin efektif. Paa 25 Oktober 1965, diadakan pertemuan dari seluruh pimpinan mahasiswa di rumah Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP), Syarif Thayeb. Dari hasil pertemuan ini, akhirnya dibentuk wadah baru bagi gerakan mahasiswa Indonesia dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Meskipun pada awal pembentukannya KAMI belum memiliki anggara dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), KAMI telah memiliki tekad dan perjuangan, yakni:

  1. mengamankan dan mengamalkan Pancasila
  2. anti kepada Nelikom (neokolonialisme dan imperialisme) dan segala bentuk penjajahan, dan
  3. membantu ABRI mengganyang G30S dan PKI beserta ormas-ormasnya.
Smentara itu, kondisi perekonomian negara semakin merosot. Hal ini menimbulkan keprihatinan bagi KAMI, terutama ketika pemerintah mengumumkan pemotongan nilai mata uang rpiah dari nilai semula Rp1.000,- menjadi Rp1,- utuk nilai uang baru. Kebijakan ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi laju inflasi yang telah mencapai 650%. Masalah lain yang meresahkan adalah ketika Presiden Soekarno belum juga membubarkan PKI yang menjadi tuntutan utama masyarakat. Gelombang demonstrasi para pemuda dan mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI semakin meluas bahkan mengarah pasa situasi konflik politik. Perasaan tidak puas mencetuskan lahirnya Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Pada 12 Januari 1966, KAMI bersama-sama dengan rayat beserta Front Pancasila dan kesatuan aksi lainnya mendatangi DPR-GR mengajukan Tritura yang berisi:
  1. pembubaran Partai Komunis Indonesia,
  2. pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S dan PKI, dan 
  3. penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Aksi demonstrasi terus bergulir. Mahasiswa dan rakyat bergerak setiap hari memenuhi jalan-jalan di ibu kota. Hal ini berlangsung selama 60 hari. Menanggapi aksi mahasiswa ditambah dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Presiden Soekarno kemudian mengundang perwakilan mahasiswa/pelajar untuk mengikuti Sidang Paripurna Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor. Akan tetapi, di dalam sidang tersebut Presiden Soekarno menuding aksi mahasiswa yang terjadi telah ditunggangi oleh kekuatan Nekolim, khususnya oleh Central Intelligenie Agency (CIA). Presiden Soekarno kemudian mengajar para mahasiswa/pelajar dan seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk "Barisan Soekarno". Namun, upaya ini mengalami kegagalan. Bahkan, ketika pelantikan anggota Kabinet Dwikora pada 24 februari 1966, para demonstran kembali melakukan aksi serentak turun ke jalan dengan melakukan pengempisan ban-ban kendaraan roda empat yan gmelintas di jalan raya. Akibatnya lalu lintas ibu kotra praktis terhenti. Dalam bentrokan dengan aparat keamanan, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Arief Hakim tewas tertembak peluru aparat. Terjadinya insiden berdarah ini membuat situasi semakin memanas, ditambah lagi dengan krisis kepemimpinan nasional. Melihat perkembangan kondisi ini, Presiden Soekarno kemudian memutuskan untuk membubarkan KAMI.

Meskipun KAMI dibubarkan, aksi pergerakan massa tidak ikut berhenti. Para peimimpin KAMI merasa perlu membentuk wadah baru yang akan meneruskan perjuangannya sehingga terbentuklah Laskar Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Gelombang demonstrasi terus berlanjut hingga ke berbagai kota di Indonesia, yang terus menyuarakan Tritura. Ketika pemerintahan Presiden Soekarno mendekati masa akhir pembubaran PKI dilaksanakan oleh Jenderal Soeharto sebagai pengemban amanah Surat Perintah 11 Maret 1966 pada 12 Maret 1966. Sejaksaat itu, Jenderal Soeharto lebih berperan banyak di pemerintahan. Pada akhirnya, Soeharto diangkat menjadi Presiden RI ke-2 menggantikan Presiden Soekarno dan dimulailah masa Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melakukan koreksi secara total atas segala penyelewengan yang dilakukan Demokrasi Terpimpin.

0 Comments:

Posting Komentar