Untuk menumpas gerakan ini, pemerintah menggunakan kekuatan militer dengan melibatkan berbagai kesatuan secara penuh (laut, udara, dan darat). Pasukan gabungan yang diberi nama Operasi 17 Agustus ini dipimpin langsung oleh Kolonel Ahmad Yani. Selain untuk menghancurkan kekuatan pemberontakan, operasi militer ini bertujuan untuk mencegah semakin meluasnya wilayah basis gerakan perlawanan serta mencegah campur tangan kekuatan asing yang sering kali berdalih melindungi bisnis warga negaranya di Pekanbaru.
Setelah berhasil mengamankan sumber-sumber minyak di Pekanbaru, sejak 14 Maret 1958, operasi militer beralih ke basis pemberontak di wilayah Bukittinggi. Pada 4 Mei 1958, daerah Bukittinggi berhasil diamankan oleh pasukan TNI. Ruang gerak PRRI pun semakin sempit dan melemah. Akibatnya, banyak tokoh PRRI menyerahkan diri, seperti Ahmad Husain dan pasukannya.
Sementara itu, salam rangka menumpas gerakan Permesta, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka pada bulan April 1958, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat. Saat operasi militer dilaksanakan, TNI menemukan bukti adanya keterlibatan pihak asing dalam gerakan tersebut, yaitu ketika salah satu pesawat asing ditembak jatuh oleh pasukan TNI di perairan Ambon pada 18 Mei 1958. Pesawat tersebut ternyata milik Amerika Serikat dan pilotnya A. L. Pope diyakini sebagai agen CIA.
TNI mengakui penumpasan terhadap Permesta lebih berat dibandingkan penumpasan terhadap PRRI. Hal ini karena pemberontak lebih menguasai medan yang sulit ditambah lagi persenjataan yang tidak kalah lengkap dengan TNI. Meskipun semikian, pasukan TNI satu per satu merebut daerah-daerah yang dikuasai oleh gerakan Permesta. Pada pertengahan tahun 1961, para pemimpin gerakan ini menyerah kepada pemerintah RI.
0 Comments:
Posting Komentar