Kamis, 03 Oktober 2024

Terbentuknya Dewan-dewan Daerah menjadi Latar Belakang Pemberontakan PRRI/Permesta pada Masa Demokrasi Liberal

Pergolakan daerah yang juga berpotensi sebagai upaya disintegrasi terjadi pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Pergolakan yang muncul di Sumatra dan Sulawesi dipicu oleh ketidakpuasan terhadap alokasi dana pembangunan yang diterima dari pemerintah pusat. Ketidakpuasan ini memunculkan rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Selain itu, mereka merasa kesulitan untuk menyampaikan aspirasinya kepada parlemen dalam mengubah kebijakan. Akhirnya, mereka menempuh jalan nonparlemen dengan membentuk dewan-dewan di daerah. 

Pada 20-24 November 1956, Dewan Banteng yang anggotanya berasal dari Divisi Banteng melakukan pertemuan di Padang. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di antaranya sebagai berikut.

  1. Pembangunan daerah akan dilakukan dengan cara menggali potensi daerah melalui pemerintahan otonomi.
  2. Menyusun buku sejarah perjuangan Sumatra Tengah
  3. Membangun museum perjuangan.
  4. Mengurus para veteran yang cacat karena pertempuran, para janda dan yatim piatu, serta menyediakan lahan untuk makan pahlawan.
  5. Menghendaki Divisi Banteng yang telah bubar dijadikan suatu korps dalam Angkatan Darat dan dilakukan penggantian pimpinan Angkatan Darat.
  6. Melakukan pengawasan terhadap penempatan pejabat daerah harus merupakan tenaga produktif bagi daerah.
  7. Dalam bidang pertahanan keamanan, mereka akan membentuk Komando Pertahanan Daerah yang meliputi bidang teritorial, operatif, dan administratif sesuai dengan pembagian administrasi yang telah ada di pemerintah pusat. 
  8. Menghendaki dihapusnya sistem sentralisasi yang telah menimbulkan birokrasi yang tidak sehat. Sentralisasi cenderung menghilangkan inisiatif daerah, terutama dalam bidang pembangunan ekonomi.
Hasil keputusan ini disampaikan kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dengan mengirimkan delegasi Dewan Banteng. Sementara itu, ketua Dewan Banteng mengambil keputusan sendiri dengan mengambil alih kekuasaan Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo. Tindakan ketua Dewan Banteng tersebut mengakibatkan munculnya ketegangan antara pemerintah pusat dan Dewan Banteng.

Dewan Gajah di Medan juga menguasai instansi-instansi penting pemerintah, seperti RRI Medan yang digunakan untuk menyiarkan semua kegiatan Dewan kepada masyarakat luas. Akan tetapi, gerakan Dewan Gajah segera berakhir ketika pimpinannya mengundurkan diri dan pindah dari Medan dengan diikuti sejumlah anak buahnya. Adapun Dewan Garuda di Sumatra Selatan yang dipimpin oleh Gubernur Letnan Kolonel Barlian mengbil alih kekuasaan dari Gubernur Sumatra Selatan yang ketika itu dijabat oleh Winarno Danuatmodjo.

Pemerintah pusat menghendaki pergolakan di daerah dapat diselesaikan melalui perundingan. Pemerintah pusat, kemudian membentuk sebuah kepanitiaan untuk merumuskan hal-hal yang dipandang perlu dalam upaya penyelesaian masalah-masalah tersebut. Kepanitiaan tersebut tediri atas tujuh anggota, di antaranya Sukarno selaku panglima tertinggi, Mohammad Hatta, Perdana Menteri Djuanda, Wakil Perdana Menteri Leimena, Dokter Azis Saleh, Sultan Hamengku Buwono IX, dan KSAD Mayor Jenderal A. H. Nasution. Akan tetapi,sebelum panitia ini mengumumkan hasil rumusannya, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno. 

Peristiwa ini terjadi ketika Sukarno sedang berada di Perguruan Cikini untuk menghadiri ulang tahun perguruan tempat putra dan putrinya bersekolah. Peristiwa yang terjadi pada 30 November 1957 ini dikenal dengan Peristiwa Cikini. Sukarno berhasil selamat, tetapi banyak anak sekolah yang menjadi korban akibat dari lemparan granat tersebut.

Setelah peristiwa tersebut, pergolakan daerah semakin meningkat dan menunjukkan upaya untuk melepaskan diri dari pemerintah pusat. Selain di Sumatra, terjadi pergolakan yang serupa, seperti di Makassar terbentuk Dewan Lambung Mangkurat dan di Manado ada Dewan Manguni.

0 Comments:

Posting Komentar