Banyak hal yang terkait dengan masalah keamanan dan pertahanan negara yang harus dihadapi pemerintah Indonesia. Masalah tersebut di antaranya kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat, upaya-upaya memecah integrasi bangda, dan sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak terlepas dari beberapa hal berikut.
- Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
- Ketidastabilan politik akibat jatuh bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.
Di samping itu, permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuha penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, seorang ahli ekonomi Indonesia berhasil merangcang Gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara.
Gerakan Benteng didasari oleh gagasan pentingnya mengubah strukutr ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Gagasan Sumitro kemudian diterapkan dalam program Kabinet Natsir pada bulan April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap satu resmi dijalankan selama tiga tahun (1950-1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama tiga tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputra memperoleh bantuan kredit dari program ini. Namun, hal yang diharapkan dari program tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satu mentalitas para pengusaha bumiputra yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.
Sebenarnya, pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputra dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Namun, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.
Program Benteng tahap dua dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap dua merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputra agar dapat bersaing dengan para pengusaha nonbumiputra. Jika pada awal tahun 1953 para importis pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor-impor, maka mereka telah menerima 80-90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4.000 - 5.000 perusahaan.
Program Benteng dinilai gagal karena salah sasaran. Banyak pengusaha bumiputra yang menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non-bumiputra. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Ali-Baba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputra, sedangkan "Baba" non-bumiputra. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Program Benteng dianggap gagal karena salah sasaran. Selain itu, program ekonomi benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik. Program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir mengutamakan pembangunan perekonomian negara. Hal ini dianggap oleh partai oposisi telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua. Soekarno pun menyatakan hal yang sama bahwa masalah kemajuan dan tidak boleh dianggap rendah. Kondisi ini membuat Natsir berikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden hanya sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya dan digantikan oleh Sukiman pada April 1951.
Jatuhnya pemerintahan Kabinet Sukiman disebabkan adanya kegagalan dalam pertukawan nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). Di dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I yang merupakan kabinet koalisi antara PNI dan NU. Kabinet ini jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada ditubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkecamuk di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di tambah pula dengan konflik antara PNI dan NU, yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang diuduk dikabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik. Akibatnya, program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini kemudian membuat Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
0 Comments:
Posting Komentar