Sebagaimana halnya dengan Orde Baru yang ingin melakukan koreksi terhadap Orde Lama, yaitu Orde Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinnya. Reformasi juga ingin mengoreksi berbagai penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru. Masa reformasi dimulai dengan mengembalikan hak-hak rakyat, baik dalam tataran elite maupun rakyat pada umumnya. Rakyat memperoleh haknya kembali untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan partai politik, organisasi-organisasi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Penegakan hukum mulai berjalan lebih baik jika dibandingkan dengan masa Orde Baru, meskipun masih berjalan kurang konsisten. Dalam bidang sosial-budaya, kembalinya kebebasan untuk berbicara, bersikap, dan bertindak mulai memacu kreativitas masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain, muncul sikap primodialisme sehingga benturan antarsuku, antarumat beragama, antarkelompok, sertaantardaerah terjadi di mana-mana. Selain itu, kriminalitas meningkat dan pengerahan massa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Hal ini tentu saja berpotensi untuk menimbulkan tindakan kekerasan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara. Di Indonesia, kata reformasi dapat merujuk pada berbagai perubahan yang menginginkan perubahan mendasar di berbagai sendi kehidupan atau sebutan untuk suatu masa sesudah Orde Baru. Reformasi di Indonesia sendiri sudah dicetuskan terutama sejak masa akhir kekuasaan Soeharto. Hal ini terutama karena adanya desakan dari negara-negara "pendonor bantuan ekonomi" kepada Indonesia, seperti AS, Jepang, dan Inggris.
Pada masa Reformasi dikeluarkan sejumlah ketetapan MPR yang bertujuan memabngun kehidupan yang demokratis. Ketetapan MPR tersebut adalah sebagai berikut.
- Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/1998 tentang Pencabutan Referendum
- Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi
- Ketetapan MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Ketetapan MPR RI No. XIII tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden
- Amandemen UUD 1945 (I-IV) dan pelaksanaan pemilu.
Pada masa Reformasi, sistem pemerintahan yang berjalan berisi beberapa hal penting berikut.
- Kebijakan pemerintah memberikan ruang gerak yang lebih luas terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat dan pikiran, baik secara lisan maupun tertulis telah sesuai dengan UUD 1945 pasal 28.
- Upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bertanggung jawab dibuktikan dengan dikeluarkannya. Ketetapan MPR No IX/MPR/1998 yang ditindaklanjuti dengan UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Lembaga MPR telah berani mengambil langkah-langkah politis melalui sidang tahunan yang menuntut adanya laporan pertanggungjawaban tugas lembaga negara, UUD 1945 diamandemen, pimpinan MPR/DPR dipisahkan jabatannya dan berani memecat presiden melalui mekanisme Sidang Istimewa.
- Melalui amandemen UUD 1945, masa jabatan presiden dibatasi hanya sebanyak dua kali masa jabatan.
Salah satu keberhasilan Pemerintah pada masa Reformasi 1998 adalah penyelenggaraan pemilu yang dinilai lebih demokratis yang dimulai pada 1999, 2004, 2009, dan 2014. Pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dimulai sejak tahun 2004.
Pada masa pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah telah mengusahakan langkah-langkah dalam memperbaiki perekonomian, seperti merekapitulasi perbankan, merekonstruksi perekonomian nasional, melikuidasi beberapa bank bermasalah, menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga di bawah Rp10.000, dan mengimplementasian reformasi ekonomi yang disyaratkan oleh IMF!
Kebijakan Habibie yang kontroversial dan menimbulkan kekecewaan adalah referendum Timor-Timur. Hasil referendum yang diumumkan tanggal 4 September 1999 oleh PBB memutuskan Timor-Timur tidak lagi menjadi bagian Republik Indonesia.
Presiden berikutnya yang menggantikan B.J. Habibie adalah K.H. Abdurrahman Wahid (akrab dipanggil dengan Gus Dur). Hal yang menonjol pada masa pemerintahannya adalah pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 yang berisi tentang pembatasan kepada etnis Tionghoa untuk merayakan agama dan adat istiadat di depan umum secara mencolok dan hanya boleh dilakukan di depan keluarga. Langkah politik Gus Dur banyak ditunjukkan pada penuntasan pelanggaran terhadap HAM masa lalu yang memiliki keterkaitan edngan arah penegakan demokrasi, politik, dan tata kelola hukum Indonesia di masa depan. Hal ini diwujudkan dengan menerbitkan Tap MPR No. V/MPR/2000 tentang Persatuan dan Kesatuan Nasional, yang kemudian digunakan sebagai landasan konstitusi untuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 yang menugaskan pemerintah untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
Masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) hanya berlangsung dua tahun. Hal ini terjadi karena beberapahal berikut.
- Konflik mengenai jabatan Kapolri yang membuat Gus Dur harus berselisih dengan DPR karena mengangkat Kapolri baru tanda persetujuan DPR.
- Konflik politik antara Gus Dur dengan para petinggi militer membuatnya harus memberhentikan Kapuspen Hankam (Kepala Pusat Penerangan Pertahanan dan Keamanan) Mayjen TNI Sudrajat dan Menkopolkam (Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan) Wiranto.
- Munculnya kasus Buloggate dan Bruneigate yang menimbulkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah.
- Kebijakan Gus dus yang sering melakukan kunjungan ke luar negeri dianggap kurang tepat karena saat itu kondisi politik dan ekonomi bangsa Indonesia belum pulih.
- Presiden Gus Dur menentang rencana sidang istimewa MPR dengan menyatakan sidang ersebut ilegal. Dukungan partai politik terhadap Gus Dur mulai berkurang.
- Dengan keterlibatannya dalam kasus Bulog Gate dan Brunei Gate yang mengakibatkan DPR memberikan teguran keras dalam bentuk Memorandum I dan II.
Pada 23 Juli 2001, Gus dur mengeluarkan dekrit yang berisi pembekuan MPR dan DPR RI, pengembalian kedaulatan ke tangan rakyat dan mengadakan pemilu dalam waktu satu tahun, dan pembekuan Partai Golkar. Namun, dekrit tersebut tidak mendapat dukungan dari MPR, DPR, TNI, dan Polri. MPR mengadakan sidang istimewa dan menetapkan Gus Dur telah melanggar Tap. MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Kapolri.
MPR menggelar Sidang Istimewa dengan agenda pandangan umum fraksi-fraksi atas pertanggungjawaban Presiden Gus Dur. Selanjutnya, dilaksanakan pemungutan suara untuk menerima atau menolak:
- Rancangan Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid
- Rancangan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001 tentang penetapan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden Republik Indonesia.
Seluruh anggota MPR yang hadir menerima dua ketetapan tersebut. Maka berakhirlah jabatan Gus Dur sebagai presiden. Ia digantikan oleh Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001.
Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2001, Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI menggantikan Gus Dur. Ia merupakan presiden perempuan pertama yang memimpin Republik Indonesia. Ia memimpin Kabinet Gotong Royong didampingi Hamzah Haz dari PPP sebagai Wakil Presiden RI.
Pada tanggal 10 November 2001, MPR melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Salah satu perubahan penting dalam amandemen tersebut adalah perubahan tata cara pemulihan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat dan mulai diterapkan pada pemilu tahun 2004.
Dalam upaya mengatasi masalah korupsi, Presiden Megawati membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tugasnya melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Selain itu, dibentuk juga Mahkamah Konstitusi pada 15 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi dibentuk sesuai dengan hasil keputusan amandemen UUD 1945. Preseiden Megawati juga menetapkan kebijakan netralisasi PNS dan TNI/Polri dalam berpolitik dan melanjutkan upaya amandemen UUD 1945 dan otonomi daerah.
Guna memantapkan situasi dan kondisi politik dalam negeri, terdapat beberapa undang-undang yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Megawati, di antaranya sebagai berikut.
- UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
- UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,, dan DPRD, serta
- UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Presiden Megawati berupaya memperbaiki kehidupan ekonomi bangsa Indonesia dengan melakukan upaya sebagai berikut.
- Presitasi BUMN. Presiden Megawati menjual Indosat pada 2003 untuk menurunkannilai inflasi di Indonesia.
- Mengadakan pertemuan Paris Club 3 dengan IMF pada 12 April 2002 untuk membicarakan penundaan pembayaran utang luar negeri Indonesia. Selanjutnya, Presiden Megawati memutuskan kerja sama dengan IMF.
Presiden Megawati melakukan berbagai upaya untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI. Guna meredam gerakan separatisme, seperti di Papua dan Aceh, pemerintah memperbaiki persentase pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah di kedua provinsi tersebut. Berdasarkan UU No. 1b/2001 dan UU No. 21/2001 baik provinsi NAD (Nangroe Aceh Darussalam) dan Papua akan menerima 70% dari hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam. Selain itu, presiden mensosialisasikan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus Provinsi NAD di Aceh.
Pemerintahan Megawati gagal mempertahankan Pulau Sipadan dan Ligitan sebagai bagian NKRI. Pemerintah Indonesia sejak tahun 1997 telah memperjuangkan pengakuan internasional bahwa kedua pulau merupakan bagian dari Wilayah Indonesia. Namun, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedua pulau tersebut merupakan bagian dari Negara Malaysia.
0 Comments:
Posting Komentar