Rabu, 11 September 2024

Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) - Aceh

Latar Belakang

Pada awal Agustus 1949, Wakil Perdana Menteri (dalam Kabinet Hatta II) Syafruddin Prawiranegara ditempatkan di Aceh dengan tujuan memimpin perjuangan di Sumatra jika perundingan KMB gagal. Syafruddin, tanpa berkonsultasi dengan kabinet, menjadikan daerah Aceh sebagai provinsi, terlepas dari Provinsi Sumatra Utara. Daud Beureuh diangkat sebagai gubernur. 

Ketika Republik Indonesia menjadi negara kesatuan kembali pada 1950, pemerintah mulai melakukan penyederhanaan asministrasi pemerintahan, yaitu menurunkan status Aceh dari daerah istimewa menjadi keresidenan di bawah Sumatra Utara. Hal ini tentu saja membuat Daud Beureuh kecewa dan para pengikutnya kecewa, terutama anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang dipimpinnya.

Jalannya Pemberontakan

Pada awal tahun 1951, setelah RIS bubar, status daerah Aceh dikembalikan menjadi keresidenan dalam lingkungan Provinsi Sumatra Utara. Penurunan status Aceh ini membuat Daud Beureuh kecewa. Ia kemudian membangun kekuatan untuk menentang pemerintah. Guna menghimpun dukungan rakyat, Daud mengobarkan sentimen agama (Islam) dan kedaerahan. Ia juga menjalin komunikasi dengan Kartosuwirjo.

Pada 21 September 1953, Daud Beureuh kemudian mengeluarkan maklumat bahwa Aceh merupakan bagian dari NII di bawah Kartosuwirjo. Segera setelah maklumat diumumkan, dilaksanakan gerakan secara serentak untuk menguasai kota-kota di Aceh dan melakukan propaganda kepada rakyat Aceh untuk tidak mendukung pemerintahan Republik Indonesia.

Upaya Penumpasan Pemberontakan oleh Pemerintah Indonesia

Guna mengamankan daerah Aceh, Komandan Daerah Militer (KDMA) Letnan Kolonel Sjamaun menerapkan kebijakan "Konsepsi Prinsipil Bijaksana". Inti dar kebijakan tersebut adalah menerima para pemberontak yang ingin menghentikan perlawanan dan menghancurkan mereka yang masih membangkang. Pada 5 dan 7 Juli 1957, Sjamaun Gaharu mengadakan pertemuan dengan para tokoh DI di Desa Lamteh. Pertemuan ini menghasilkan "Ikrar Lamteh" yang intinya kedua pihak sepakat untuk menghentikan tembak-menembak dan mengusahakan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah Aceh. beberapa tokoh DI menyetujui ikrar tersebut, tetapi Daud Beureuh menolak ikrar tersebut. Daud Beureuh tetap melanjutkan pemberontakan. Upaya persuasif terus dilakukan pemerintah untuk membujuk agar Daud Beureuh mau berunding.

Pada 17 Desember 1962, diadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh yang digagas oleh Pangdam I Kolonel M. Yasin. Secara bertahap, Gerakan DI/TII di Aceh akhirnya dapat diselesaikan dan situasi keamanan di Aceh pulih kembali. Dengan kembalinya Daud Beureuh ke masyarakat, keamanan di daerah Aceh sepenuhnya pulih kembali.

0 Comments:

Posting Komentar