Protokol Kyoto adalah amandemen dari Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) yaitu sebuah persetujuan internasional dari negara-negara dunia tentang pemanasan global. Ratifikasi protokol ini dilakukan oleh berbagai negara anggota sebagai wujud komitmen dalam upaya mengurangi emisi atau pengeluaran karbondioksida dan lima gas rumah kaca lainnya.
Protokol ini juga kemungkinan ada kerja sama dalam perdagangangan emisi terkait emisi gas yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Sejarah Protokol Kyoto
Sejarah Protokol Kyoto berawal dari Konferensi Iklim Dunia pertama pada tahu 1979. Konferensi Iklim Dunia tersebut membahas beberapa kegiatan manusia yang dinilai telah memicu terjadinya perubahan iklim. Seluruh anggota konferensi berupaya mencari solusi dalam mengatasi masalah tersebut.
Hasilnya, para peserta konferensi sepakat untuk lebih serius dan berkomitmen dalam melakukan penelitian dan aksi lainnya sebagai upaya dalam mengatasi masalah perubahan iklim.
Namun, isu pemanasan global mencuat pada sekitar tahun 1985-an di Amerika Serikat. Tak hanya Amerika, Perdana Menteri Inggris, Marganet Thatcher pun sempat menginformasikan isu pemanasan global ini kepada rakyatnya. Isu menggelinding bak bola salju, sampai pada tahun 1990 telah menggema di berbagai belahan dunia.
Dunia internasional tak bisa berpangku tangan. Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian dalam upaya menangani perubahan iklim. Mereka pun membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC). INC/FCCC menjadi jembatan dalam proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.
Komite ini mengadakan empat kali pertemuan, dimulai dari Februari 1991 sampai dengan Mei 1992 guna menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan dibawa ke kolam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992.
Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draft akhir untuk diadopsi di New York. Satu minggu setelahnya, draft dibuka untuk penandatanganan para pihak dalam KTT Bumi. Terdapat 154 negara yang menandatangani kerangka kerja perubahan iklim yang di sebut The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC). Selanjutnya, pada Maret 1994 Konvensi Perubahan Iklim pun milai berlaku.
Seluruh negara menandatangani UNFCC rutin menggelar pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim atau disebut dengan Conference of the Parties (COP).
UNFCCC merupakan respon atas diskusi demi diskusi dan penelitian tentang perubahan iklim yang telah dibahas selama lebih dari 10 tahun. Dari konvensi ini, negara peserta sepakat untuk mengumpulkan dan berbagi informassi tentang emisi gas rumah kaca.
Mereka juga berkomitmen untuk berpartisipasi dalam rencana tindakan pencegahan emisi gas rumah kaca secara global, sekaligus aktif dalam upaya meminimalisirnya. Ketika itu, target ditetapkann tahun 2000. Hasil konvensi ini telah disetujui oleh KTT Bumi (Earth Summit).
Untuk lebih merinci hasil konvensi tersebut, pada tahun 1997 sebuah konferensi kembali diadaakan oleh negara-negara peserta. Kali ini Kyoto, Jepang dipilih sebagai lokasi konferensi. Konferensi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal dengan Protokol Kyoto yang ditetapkan secaara resmi pada 12 Desember 1997.
Hasil Protokol Kyoto
Protokol Kyoto bisa disebut perangkat peraturan yang diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kepentingannya jelas untuk mengatur pengurangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara yang meratifikasi.
Semua negara peserta Protokol Kyoto terikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbondioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC).
Ketentuannya, semua negara peserta harus mengurangi emisi tersebut mulai dari tahun 2008 sampai 2012 dengan berbagai metode.
Acuan dasar dari Protokol Kyoto ini adalah tahun 1990. Sehingga semua kesepakatan yang diambil pasti dieprhitungkan dari massa tersebut. Termasuk kesepakatan bahwaa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka rata-rata ssebesar 5,2% dari tingkat emisi di tahun 1990.
Negara ANNEX I adalah negara-negara (baik negara maju maupun negara industri) yang telah mengkontribusikan emisi gas rumah kaca sejak tahun 1850-an, atau sejak masa revolusi industri. Negara ANNEX I berjumlah 40 negara di Amerika, Eropa, dan Australia.
Sedangkan untuk negara NON ANNEX I tidak diwajibkan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisis tetap terdapat di dalamnya, atau disebut dengan tanggung jawwab bersama degan porsi yang berbeda (common but differentiated responsibility).
Mekanisme Protokol Kyoto
Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto adalah sebagai berikut:
1. Joint Implementation (JI)
Mekanisme ini memungkinkan negara-negara maju untuk melakukan proyek bersama yang dapat menghasilkan penyerapan emisi gas rumah kaca atau kredit peenurunan.
2. Emission Trading (ET)
Mekanisme yang memungkinkan satu negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca mereka kepada negara maju lainnya. Hal ini dapat dilakukan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca memiliki kredit penurunan emisi yang melebihi target negaranya.
3. Clean Development Mechanism (CDM)
Sebuah mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I atau negara-negara berkembang untuk aktif dalam membantu penurunan emisi gas rumah kaca. Keaktifan tersebut dapat dilakukan melalui proyek yang diimplementasikan oleh salah satu negara maju. Kredit penurunan emisi yang dihasilkan dari proyek ini dapat dimiliki oleh negara maju tersebut.
Mekanisme CDM ini bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. hal ini merupakan satu-satunya mekanisme yang membeerikan jalan kepadda negara berkembang untuk berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.
Agar memiliki kekuatan hukum. Protokol Kyoto harus diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Kedua, jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990.
Syarat pertama terpenuhi setelah pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian di susul oleh Rusi yang meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Bergabungnya Rusia menggenapi jumlah emisi total dari negara ANNEX I menjadi sebesar 61,79%, yang artinya semua syarat telah dipenuhi.
Pada 16 Februari 2005, atau 8 tahun setelah Protokol Kyoto lahir dan 90 haru setelah ratifikasi Rusia, Protokol Kyoto resmi memiliki kekuatan hukum yang mengikat para negara pesertanya.
Penolakan terhadap Protokol Kyoto
Jika dilihat dari tujuannya, kesepakatan Kyoto memiliki tujuan yang luhut, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang diharapkan. Amerika Serikat, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang lain sempat bersatu untuk melawan kemungkinan adanya Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.
Tetapi, awal Desember 2007, Australia bersedia meratifikasi protokol tersebut setelah terjadinya pergantian pemimpin di negaranya.
Protokol Kyoto menghadapi ratifikasi dari Amerika Seritkat dan Kazakastan pada tahun 2007. Point penolakan Amerika Serikat adalah mengenai tingkat emisi yang ditoleransi untuk negara-negara berkembang.
Mereka khawatir Protokol Kyoto yang bersifat snagat mengikat ini akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, pembangunan di negara-negara maju tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.
Meski menolak ratifikasi, kedua negara tersebut pada akhirnya bersedia menandatangani Protokol Kyoto.
Protokol Kyoto di Indonesia
Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikassi Protokol Kyoto. Oleh sebab itu, aturan dalam Protokol Kyoto turut menjadi hukum positif di negara kita. Implikasi dari Protokol Kyoto di Indonesia tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan dengan landasan wawasan lingkungan di seluruh daerah di Indonesia.
Akan tetapi ada pendapat lain, meski ikut meratifikasi namun Indonesia dinilai masih abai terhadap kesepakatan global tersebut. Fakta di lapangan membuktikan jika tingkat emisi di Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tinggi. Selain itu, adanya berbagai konflik kepentingan ssehingga menjadi penghambat kebijakan.
0 Comments:
Posting Komentar