Minggu, 08 September 2019

Tradisi Sejarah Masyarakat Indonesia Masa Aksara - Masyarakat Indonesia Masa Aksara - Perkembangan Rekaman Tertulis

Jejak-jejak masa lampau menjadi bahan penting untuk menuliskan kembali sejarah umat manusia. Jejak masa lampau mengandung informasi yang dapat dijadikan bahan penulisan sejarah. Masa lampau yang hanya meninggalkan jejak-jejak sejarah tersebut menjadi komponen penting dan mengandung informasi yang dapat dijadikan bahan untuk penulisan sejarah.

Kisah sejarah tersebut disampaikan dari generasi ke generasi dan dapat dipelihara terus sehingga mampu untuk mengisahkan kembali peristiwa dari jejak-jejak pada masa lampau.

Jejak sejarah dapat dibedakan menjadi dua.

  1. Jejak historis, yaitu jejak sejarah yang menurut sejarawan memiliki atau mengandung informasi tentang kejadian-kejadian yang historis sehingga dapat digunakan untuk menyusun penulisan sejarah.
  2. Jejak nonhistoris, yaitu suatu kejadian pada masa lampau yang tidak memiliki nilai sejarah.
Jejak historis yang berwujud tulisan merupakan rekaman tertulis tradisi masyarakat pada masa lalu. Rekaman tertulis di Indonesia terbagi menjadi sumber tertulis sezaman dan setempat, sumber tertulis sezaman tetapi tidak setempat, dan sumber tertulis setempat tidak sezaman. 

1. Sumber Tertulis Sezaman dan Setempat
Sumber tertulis sezaman ialah sumber tersebut ditulis oleh orang yang mengalami peristiwa itu, atau ditulis waktu itu, atau ditulis tidak setelah peristiwa itu terjadi. Sumber setempat maksudnya adalah penulisannya di dalam negeri sendiri. Contoh sumber tertulis sezaman dan setempat  adalah prasasti. Prasasti berarti pengumuman atau proklamasi, semacam perundang-undangan yang memuji raja dan biasanya berbentuk puisi atau bahasa puisi. Dalam istilah bahasa Inggris disebut enloggistie. Istilah lain untuk prasasti adalah inscriptie atau piagam. Ilmu yang mempelajari tentang prasasti disebut epigraphy.

Prasasti ada yang terbuat dari batu (disebut Caila Prasasti), dari logam, atau dari batu bata. Wujud prasasti yang berupa batu (Caila Prasasti) terdiri atas:
  • batu biasa (batu kali) disebut natural stone;
  • batu lingga (batu lambang Siwa);
  • pseudo lingga (lingga semu), biasanya berupa batu patok atau batu pembatas;
  • batu yoni (lambang isteri Siwa), biasanya juga disebut lambang wanita.
Adapun prasasti dari logam terbuat dari tembaga, perunggu, atau emas. Prasasti dari perunggu, misalnya prasasti dari Airlangga, yakni prasasti Calcutta. Prasasti yang berupa batu bata disebut juga Terra Cotta. Prasasti dari batu bata ini di Indonesia hanya sedikit sekali kita dapatkan. Contohnya adalah prasasti di candi Sentul.

Berdasarkan bahasa yang digunakan, prasasti dibedakan menjadi empat.
  1. Prasasti berbahasa Sanskerta, misalnya prasasti Kutai, prasasti Tarumanegara, prasasti Tuk Mas, prasasti Canggal (sumber sejarah Mataram Hindu), Ratu Boko, Kalasan, Kelurak, Plumpungan, dan Dinoyo.
  2. Prasasti perpaduan bahasa antara Jawa Kuno dengan Sanskerta, misalnya prasasti Kedu, prasasti Randusari I dan II, dan prasasti Trowulan I, II, III, IV.
  3. Prasasti perpaduan bahasa Melayu Kuno dengan Sanskerta, misalnya prasasti Kota Kapur di Sriwijaya, prasasti Gondosuli, prasasti Dieng, dan prasasi Sajomerto (Pekalongan).
  4. Prasasti perpaduan bahasa Bai Kuno dan Sanskerta.
Prasasti Bali Kuno kebanyakan terdapat di pura atau candi. Prasasti ini dianggap benda suci sehingga hanya diperlihatkan pada waktu pacara oeh para pedande (pendeta). Prasasti di Bali pada umumnya berisi Raja Casana atau peraturan dari raja. Pura yang terkenal di Bali, misanya Bangli, Kintamani, dan Sembiran. Ahli prasasti Bali adalah R. Goris. Beliau mentranskip prasasti Bali. Di Bali prasasti yang sudah rusak, hurufnya diduplikasikan kembali dengan istilah "tinulat".

Ada keanehan pada prasasti Tugu Sanur. Tinggi prasasti adalah 1 m, bentuknya agak silinder, tetapi tulisannya sudah sudah rusak. Prasasti ini memiliki keistimewaan menggunakan huruf Pranagari menggunakan bahasa Bali Kuno, sedangkan yang menggunakan huruf Bali Kuno menggunakan Bahasa Sanskerta. Artinya, prasasti Tugu Sanur ditulis dengan menggunakan dua bahasa (bilingual).

Secara umum isi prasasti memuat beberapa bagian, antara lain, sebagai berikut:
  1. Penghormatan kepada dewa dalam agama Hindu biasanya diawali dengan kata Ong Civaya, sedangkan agama Buddha diawali dengan kata Ong nama Buddhaya.
  2. Angkat tahun dan penanggalan, dalam penulisannya biasanya diawali dengan permulaan kata-kata :"Swasti Cri Cakawarsatita" yang berarti Selamat Tahun Caka yang sudah berjalan. Penamaan hari dalam satu minggu (tujuh hari) terdiri dari: Raditya (Minggu), Soma (Senin), Anggara (Selasa), Buddha (Rabu), Respati (Kamis), Cakra (Jumat) dan Sanaiswara (Sabtu).
  3. Menyebut nama raja, diawali dengan kata-kata "Tatkala Cri Maharaja Rakai Dyah ...." dan selanjutnya.
  4. Perintah kepada pegawai tinggi, perintah ini biasanya melalui Rakryan Mahaptih dengan istilah "Umingsor ring rakryan Mahapatih ...", jadi raja tidak memberi perintah langsung.
  5. Penetapan daerah sima (daerah bebas pajak), yang telah menolong raja atau menolong orang penting atau telah menolong rakyat banyak, misalnya daerah penyebrangan sungai.
  6. Sambhada (sebab musabab mengapa suatu daerah dijadikan sima).
  7. Para saksi.
  8. Desa perbatasan sima disebut juga "wanua tpisiring".
  9. Hadiah yang diberikan oleh daerah yang dijadikan sima kepada raja, kepada pendeta dan para saksi. Jika berupa uang, ukurannya adalah Su, berarti suwarna atau emas. Ma berarti masa dan Ku berarti kupang (1 Su = 16 Ma = 64 Ku atau 1 Su = 1 tail = 2 real) demikianlah ukuran uangnya.
  10. Jalannya upacara.
  11. Tontotnan yang diadakan.
  12. Kutukan (sumpah serapah kepada orang yang melanggar peraturan daerah sima).
Pada zaman Islam di Indonesia masih terdapat prasasti, yakni dari zaman Sultan Agung Mataram, antara lain, ditemukan di Jawa Barat berupa tembaga di Kandang Sapi atau Tegalwarna daerah Karawang. Prasasti ini menggunakan bahasa Jawa Tengahan, isinya daerah Sumedang dijadikan sima karena menjaga lumbung padi.

Amangkurat I dari Mataram juga mengeluarkan prasasti di dekat Parangritis pada sebuah gua. Prasasti ini dibuat Amangkurat waktu melarikan diri karena diserang Trunojoyo. Di situ terdapat Condro Sengkolo "Toya ingasto gono Batara" (toya = 4, asto = 2, gana = 6, Batara = 1) sama dengan 1624 tahun Jawa.

2. Sumber tertulis sezaman tetapi tidak setempat
Sumber ini dimaksudkan ditulis sezaman, tetapi ditulis di luar negeri. Sumber ini biasanya tidak begitu jelas, kebanyakan berasal dari Tiongkok arab, Spanyol, dan India. Misalnya, kitab Ling Wai taita karangan Chou Ku Fei pada tahun 1178. Buku ini menggambarkan kehidupan tata pemerintahan, keadaan istana, dan benteng Kerajaan Kediri. Juga menceritakan kehidupan bangsawan pada saat itu yang memakai sepatu kulit, perhiasan emas, pakaian sutra, dan menunggang gajah atau kereta, serta pesta air dan perayaan di gunung bagi rakyat. Kitab Chu Fang Chi ditulis Cahu Ju Kua pada abad ke-13, menceritakan di asia Tenggara tumbuh dua kerajaan besar dan kaya, yaitu di Jawa dan Sriwijaya. Sumber lain adalah tambo dinasti Tang dari Cina yang memuat tentang Holing dan Sriwijaya serta tambo dinasti Ming yang membicarakan kemajuan perdagangan zaman Majapahit. Berita Fa Hsien menyebut Tarumanegara atau Jawa dengan sebutan Yepoti dalam bukunya Fo Kwa Chi. Musafir I-Tsing yang pernah datang ke Indonesia ( di Sriwijaya dan belajar di sana) mengatakan bahwa Sriwijaya maju perdagangannya. Kemudian Hwining dalam perjalanannya singgah di Holing dan bekerja sama dengan Jnanabhadra untuk menerjemah kitab Hastadandasastra dalam bahasa Sanskerta (mereka berada di Holing selama tiga tahun). Selain itu, banyak juga catatan dari arab, Spanyol, India dan Belanda.

3. Sumber tertulis setempat tidak sezaman
Sumber ini ditulis lama sesudah peristiwa terjadi, mungkin sudah berdasarkan cerita dari mulut ke mulut atau berdasar cerita rakyat. Misalnya, buku Babad Tanah Jawi dan kitab Pararaton (walaupun ada babad sezaman, tetapi tidak banyak).

0 Comments:

Posting Komentar