Minggu, 19 Mei 2019

Perlawanan pada Abad ke-17 dan Abad ke-18 Masa Penjajahan Belanda [2] Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol adalah pemimpin Perang Padri tahun 1821-1837. Penyebab timbulnya Perang Padri adalah adanya pertentangan antara kaum adat dengan kaum Islam (ulama). Kaum adat terdiri atas raja dan para pengikutnya, sebagian besar masyarakat Minangkabau dikuasai oleh kaum adat.

Tuanku Imam Bonjol

Perbuatan dan adat kebiasaan para penghulu adat sangat bertentangan dengan hukum-hukum Islam. Seperti kebiasaan berjudi, minum-minuman keras dan sabung ayam.

Sikap hidup yang demikian menimbulkan kerawanan sosial. Di dalam masyarakat sering terjadi pencurian, perampokan, serta menimbulkan kegelisahan masyarakat. Akibat yang lebih jauh lagi adalah membawa kemelaratan terhadap rakyat. 

Pada awal abad ke-19 terjadi perubahan. Pada saat itu mulai banyak orang Minangkabau yang pergi menunaikan ibadah haji. Selama menunaikan rukun Islam yang ke-5 itu. Di tanah suci Arab sedang terjadi gerakan Wahabi, yaitu gerakan yang menghendaki agar ajaran Islam dilaksanakan secara murni sesuai dengan Alquran dan hadis Rosul. Sepulangnya dari haji, orang Minangkabau menyebarkan ajaran Wahabi tersebut. Pada pengikutnya disebut Kaum Padri.

Kaum Padri menentang kebiasaan yang merusak masyarakat, terutama yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pimpinan kaum Padri adalah Peta (Peto) Syarif/ Malin Basa (Malim Besar)/ Datuk Bagindo Suman/Tuanku Imam Bonjol. Beliau dilahirkan pada tahun 1772 di Tanjung Bungan Pasaman, Sumatera Barat. Seorang Imam bernama asli Muhammad Syahab ini mewajibkan pengikutnya memakan pakaian dan sorban putih. Oleh karena itu, mereka disebut kaum Putih.

Perbedaan antara kedua kaum itu menimbulkan permusuhan yang akhirnya meningkat menjadi perang saudara. Perang saudara ini menjadi meningkat setelah kekuasaan asing campur tangan. Belanda memanfaatkan pertentangan yang sedang terjadi di Minagkabau saat itu. Pada tanggal 10 Februari 1821, Belanda mengadakan perjanjian antara kaum adat dengan Gubernur Jenderal Belanda. Atas dasar perjanjian itulah beberapa daerah dikuasai oleh Belanda. Mereka pun bersiap-siap untuk menghadapi kaum Padri.

Kaum Padri mengetahui rencana tersebut, mereka segera membuat benteng yang besar dan luas di daerah Bonjol. Akhirnya, Belanda menyerang kaum Padri dengan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Raaf. Pertempuran dahsyat pun tak bisa dihindarkan lagi.

Tuanku Imam Bonjol menyambut Belanda dengan perlawanan yang gigih. Imam Bonjol dibantu oleh sejumlah ulama dan penghulu yang memihak kepadanya, seperti Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Haji Piabang, dan Haji Sumanik. Belanda mendirikan benteng di Bukittinggi dan Batusangkar. Walaupun demikian, Belanda tidak dapat mengalahkan pasukan kaum Padri. Dalam pertempuran itu Tuanku Nan Renceh gugur dan menjadi pahlawan bangsa. 


Pada tahun 1825, di Pulau Jawa sedang terjadi Perang Diponegoro. Belanda menghadapi kesulitan. Mereka harus mengerahkan kekuatan militernya ke Pulau Jawa. Oleh karena itu, Belanda bermaksud mengadakan perjanjian damai dengan Imam Bonjol. 


Pada tanggal 29 Oktober 1825, Belanda berhasil mengadakan perjanjian damai dengan kaum Padri yang dikenal dengan Perjanjian Padang. Isi perjanjian tersebut adalah "Kedua belah pihak sepakat mengadakan gencatan senjata." Setelah perjanjian itu, selama 4 tahun tanah Minangkabau aman, tidak ada peperangan antara kaum Padri dengan kaum Belanda.

Ketika Perang Diponegoro selesai pada tahun 1830, pasukan Belanda dialihkan untuk menyerang Imam Bonjol. Pada pertengahan tahun 1832, Belanda mengirimkan pasukannya ke Sumatera Barat. Benteng Padri yang kuat itu pun berhasil direbut Belanda. Namun, pada tahun 1833 benteng itu dapat direbut kembali oleh pasukan Imam Bonjol dari tangan Belanda.

Belanda terus berusaha menundukkan Imam Bonjol. Kini, Belanda menggunakan siasat Benteng. Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Michiels. Ketika itu, kaum Padri sudah bersatu dengan kaum adat untuk bersama-sama melawan Belanda.

Walaupun senjata pasukan Belanda lengkap dan banyak, tetapi mereka baru berhasil menguasai benteng Bonjol pada bulan Oktober 1837. Imam Bonjol berhasil ditangkap Belanda pada tanggal 25 Oktober 1837. Pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon Maluku. Kemudian pada tahun 1841, dipindahkan ke Manado di Sulawesi Utara. Pada tanggal 6 November 1864, beliau wafat dalam usia 92 tahun. Dimakamkan di kampung Pineleng dekat Kota Manado.

0 Comments:

Posting Komentar