Kamis, 23 Mei 2019

Agresi Militer Belanda I

Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada tangal 17 Agustus 1945 ternyata masih mendapat banyak tantangan. Tantangan yang pasti adalah keinginan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia.

Belanda menafsirkan terhadap pidato Ratu Wihelmina yang menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi persemakmuran (commonwealth). Dalam persemakmuran tersebut, Indonesia harus berbentuk federasi dan hal-hal yang berhubungan dengan luar negeri ditangani oleh Belanda. Tentu saja niat Belanda ini sangat ditentang oleh bangsa Indonesia. 

Karena Indonesia menolak keinginan Belanda tersebut, Belanda segera mengirim nota (surat) berisi ultimaatum (ancaman). Ultimatum tersbut harus dijawab oleh Indonesia dalam batas waktu 14 hari. Namun, Indonesia tetap menolak keinginan Belanda. Jawaban pun diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia mellauui siaran RRI Yogyakarta. 

Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda menyerang secara serentak daerah-daerah Indonesia. Yogyakarta sebagai ibu kota negara waktu itu tak luput dari serangan pesawat-pesawat Belanda. Ibu kota menjadi sunyi. Para pemuda pun berjaga-jaga dan bersiaga di dalam dan di luar kota terhadap kemungkinan serangan Belanda. Penyerangan Belanda tersebut dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I. 

Pada awalnya, serangan ini mampu membombardir pihak republik. Kekuatan pasukan dan persenjataan Belanda yang lengkap dan modern dikerahkan. Hal ini membuat pasukan TNI terpencar. Akan tetapi, dengan adanya perubahan taktik, yaitu dengan menggunakan taktik gerilya, akhirnya kekuasaan dan gerakan Belanda dapat dibatasi. Belanda hanya menguasai kota-kota besar dan jalan raya saja, selebihnya pasukan TNI yang menguasainya.

Australia dan India mengecam agresi militer Belanda tersebut. Wakil-wakil mereka di PBB mendesak agar masalah Indonesia dibahas dalam sidang Dewan Keamanan. PRR menerima tanggapan wakil kedua negara tersebut. Tembak-menembak pun dihentikan, setelah PBB memerintahkannya. Perundingan bersama Dewan Keamanan dilakukan. Akhirnya, tercetuslah keputusan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Keputusan gencatan senjata diumumkan pada tanggal 4 Agustus 1947 dan dianggap secara resmi berakhir pula agresi militer Belanda tersebut. 

Walaupun telah mengadakan gencatan senjata dengan pihak Republik Indonesia, Belana tetap saja melakukan pelanggaran. Belanda terus saja mengadakan serangn dan memperluas wilayah pendudukannya. Bahkan, Belanda pun menuntut garis batas wilayah kekuasaan setelah adanya perintah gencatan senjata dari PBB. Pihak Republik Indonesia tentu saja menolak perluasan wilayah tersebut karena gencatan senjata telah diumumkan. Akibatnya, bentrokan senjata sering terjadi antara pihak Indonesia dan pihak Belanda. 

Pihak PBB terus membantu menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda secara damai. Mereka membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Srikat. Melalui komisi inilah, PBB mengharaokan masalah Indonesia-Belanda ini dapat segera diselesaikan.

Perundingan kembali diadakan mulai tanggal 8 Desember 1947. Perundingan berlangsung di kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat, yaitu USS Renville yang sedang berlabuh di Teluk Jakarta. Alasan memilih kapal perang tersebut adalah agar perundingan diselenggarakan di tempat yang netral. Delegasi Indonesia oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak Belanda.

Perundingan berjalan dengan lancar dan kedua belah pihak bisa menerima usulan KTN. Pada tanggal 17 Januari 1948, kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Renville. Perjanjian tersebut meyebabkan kedudukan Indonesia terkurung oleh daerah pendudukan Belanda. Rakyat Indonesia juga tidak menyetujui. MEreka mengajukan protes keras sehingga menyebabkan Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh.

Isi dari Perjanjian Renville adalah:

  1. Belanda hanya mengakui wilayah Indonesia atas Jawa Tengah, Yogyakarta, sebagian kecil Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatra;  
  2. Tentara Republik Indonesia harus ditarik mundur dari daerah-daerah yang telah diduduki Belanda.

0 Comments:

Posting Komentar