Pada dasarnya, pelaksanaan edukasi melalui Politik Etis atau Politk Balas Budi oleh pemerintah kolonial Belanda memberikan kesempatan yang luas kepada bumiputra untuk memperoleh pendidikan. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, kebijakan ini telah memunculkan golongan elite baru yang berpendidikan Barat dan sadar akan harga dirinya. Mereka merasa kecewa atau realitas sosial yang mereka hadapi dalam situasi pemerintahan kolonial di masa itu.
Kesadaran akan harga diri inilah yang kemudian mendorong kaum muda terdidik untuk mendirikan organisasi, baik yang bercorak politik maupun sosial budaya. Atas inisiatif para pemuda pelajar School Tot Opleiding van Inlandesche Artsen (STOVIA) didirikan organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Organisasi ini bertujuan memperbaiki kehidupan masyarakat yang masih terbelakang dan ingin meningkatkan kualitas kehidupan mereka melalui pendidikan. Sikap nonpolitis yang ditunjukkan oeh organisasi ini membuat Boedi Oetom dapat bekerja sama dengan pemerintah Belanda. Pemerintah kolonial Belanda bahkan menilai bahwa lahirnya organisasi ini sebagai hasil positif dari pelaksanaan politik etis, yaitu organisasi yang lahir dari kalangan priayi Jawa terpelajar yang bersikap kooperatif terhada pemerintah kolonial. Van Deventer dalam majalah De Gids mengatakan terkait lahirnya Boedi Oetomo "Keajaiban telah terjadi, putri jelita yang tidur itu telah bangkit."
Tiga tahun setelah Boedi Oetomo, lahir organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Solo pada 1911. Tujuannya untuk menghadapi persaingan dalam bidang perdagangan, terutama dengan orang-orang Tionghoa. Organisasi yang berdiri dengan latar belakang masalah sosial dan ekonomi ini berkembang dengan pesat ketika H.O.S. Tjokroaminoto menjadi pimpinannya. Namun, pada akhirnya, organisasi ini berkecimpung di bidang politik dan mengubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Sifat organisasinya yang terbuka memungkinkan masuknya tokoh-tokoh muda yang berhaluan kiri dan radikal, seperti Semaun, Darsono, dan Tan Malaka.
Konflik ideologi yang bersifat internal terjadi dalam tubuh Serikat Islam. Kelompok yang berhaluan kiri (komunis) makin radikal. Keadaan ini disusul dengan perpecahan dalam tubuh organisasi, anggotanya kemudian memisahkan diri dan membentuk organisasi baru berhaluan komunis pada 1921, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ideologi kebangsaan selanjutnya lahir di dalam Perserikatan Nasional Indonesia yang didirikan oleh Ir. Soekarno dengan para anggota kelompok studi club (Algemene Studi Club) Bandung, yang kemudian menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Strategi perjuangan nonkooperatif, apalagi ketika para pemuda yang kembali dari Belanda ikut bergabung. Di sana, mereka adalah para pemuda yang akitf dalam gerakan Perhimpunan Indonesia (PI).
PNI kemudian mengupayakan terwujudnya persatuan di kalangan kaum muda Indonesia yang berada dalam kelompok organisasi pergerakan lainnya tanpa memandang strategi atau ideologi perjuangan. Upaya ini berhasil pada 1927. Pada waktu itu, organisasi Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan, Sarekat Sumatera, Pemuda Betawi, dan Indonesische Studie Club bergabung dan membentuk Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI).
PNI tidak berusia lama. Pada akhir 1931, partai ini bubar karena Ir. Soekarno ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Tokoh pimpinan lainnya kemudian mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Namun, pendirian partai baru ini menimbulkan perpecahan. Sebagian dari mereka kemudian membentuk partai baru yang diberi nama PNI Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan PNI Baru yang dipimpin oleh Hatta. Dalam programnya, PNI Baru lebih menitikberatkan pada pembinaan kader.
Awal 1930-an dianggap sebagai puncak pergerakan nasional Indonesia, apalagi ketika didukung oleh adanya kemantapan identitas nasional yang diikrarkan melalui Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Bertanah air, berbangsa, dan berbahasa satu telah menjadi kesepakatan bersama.
Pergerakan organisasi kebangsaan yang bermunculan ketika itu mendapatkan hambatan yang kuat dari pemerintah kolonial Belanda di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge. Beberapa peraturan yang menghambat gerak partai kemudian diberlakukan, seperti larangan untuk mengadakan rapat-rapat diperlukan izin khusus bagi pimpinan organisasi pergerakan jika ingin bepergian keluar meninggalkan daerahnya, pegawai negeri dilarang ikut dalam kegiatan partai, dan beberapa tokoh utama pergerakan yang bersikap nonkooperatif, seperti Soekarno, Hatta, dan Syahrir dibuang ke Boven Digul (Papua).
Organisasi-organisasi pergerakan digerakkan pula oleh kalangan pemuda pelajar, terutama yang tinggal di kota-kota besar, seperti Batavia (Jakarta), Bandung, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya. Hal ini terjadi karena mereka mempunyai hubungan sosial yang lebih luas dan pergaulan yang bersifat multikultur. Tumbuhnya organisasi-organisasi pelajar, bukan atas dasar ideologi. Organisasi pelajar yang lahir pertama kali adalah Trikoro Darmo (tiga tujuan mulia) pada Maret 1915. Sifatnya masih sangat Jawa-sentris, anggota-anggotanya berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur saja. Untuk memperluas keanggotaannya, namanya kemudian diubah menjadi Jong (pemuda) Java sehingga memberi kesempatan bagi mereka yang bukan etnis Jawa, tetapi tinggal di Jawa dapat menjadi anggota.
Pada kongres Mei 1922, Jong Java kemudian mempertegas garis perjuangannya. Organisasi ini tidak mencampuri urusan politik dan hanya bergerak sebagai organisasi sosial budaya. Tak lama kemudian, lahirlah Jong Sumatranen Bond yan gdiikuti oleh gerakan organisasi pemuda pelajar daerah lainnya, seperti Jong Batak, Jong Ambon, Pemuda Betawi, dan Sekar Rukun.
Selanjutnya, lahir pula gerakan pemuda yang berlatas belakang keagamaan. Contohnya Muda Kristen Djawi (1920) dan Jong Islamieten Bond (1925). Adapun organisasi pemuda yang merupakan bagian dari partai politik, di antaranya Pemuda Muslimin Indonesia (PSII)(1928), Pemuda Ansor (1932), dan Pemuda Muhammadiyah (Muhammadiyah)(1932). Selain gerakan pemuda dari dalam negeri, berdiri gerakan pemuda di luar negeri (Belanda) yang sifatnya nasional. Contohnya Indische Vereeniging yang anggotanya adalah para pemuda Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Salah satu pemuda tersebut adalah R.M. Sosrokartono, kakak dari R.A. Kartini. Pada pertengahan 1930-an, para pemuda pelajar yang menuntut ilmu di Timur Tengah, seperti di Kairo, Baghdad, dan Mekah mendirikan pula Persatuan Talabah Indonesia-Malaya. Para pemuda yang menjadi anggota dari organisasi-organisasi ini pada umumnya rajin mengirimkan berbagai macam majalah dan berbagi pengetahuan kepada organisasi-organisasi yang ada di Indonesia, baik secara kelompok maupun individu. Majalah dan pengetahuan yang mereka kirimkan telah memberikan sumbangan yang berharga bagi pergerakan nasional di Indonesia.