Sekolah Dasar

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Dasar

Sekolah Menengah Pertama

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah Atas

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Menengah Atas

Materi Umum

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak Pengetahuan Umum

Kelas Online

Jika kamu membutuhkan bimbingan untuk belajar online, kamu bisa gabung di kelas online.

Jumat, 18 Oktober 2024

Kebijakan Ekonomi Masa Demokrasi Liberal

Banyak hal yang terkait dengan masalah keamanan dan pertahanan negara yang harus dihadapi pemerintah Indonesia. Masalah tersebut di antaranya kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat, upaya-upaya memecah integrasi bangda, dan sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan yang muncul ini tidak terlepas dari beberapa hal berikut.

  1. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar seperti yang diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
  2. Ketidastabilan politik akibat jatuh bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan program sehingga pemerintah harus lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional pertahanan dan keamanan negara.
Di samping itu, permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya bergantung pada hasil perkebunan dan angka pertumbuha penduduk semakin meningkat dengan tajam. Sumitro Djojohadikusumo, seorang ahli ekonomi Indonesia berhasil merangcang Gerakan Benteng sebagai salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara. 

Gerakan Benteng didasari oleh gagasan pentingnya mengubah strukutr ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Gagasan Sumitro kemudian diterapkan dalam program Kabinet Natsir pada bulan April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap satu resmi dijalankan selama tiga tahun (1950-1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo). Selama tiga tahun, lebih dari 700-an bidang usaha bumiputra memperoleh bantuan kredit dari program ini. Namun, hal yang diharapkan dari program tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satu mentalitas para pengusaha bumiputra yang konsumtif, besarnya keinginan untuk memperoleh keuntungan secara cepat, dan menikmati kemewahan.

Sebenarnya, pemberian kredit impor yang diberikan kepada para pengusaha bumiputra dimaksudkan untuk memicu pertumbuhan perekonomian nasional. Namun, kebijakan ini ternyata tidak mampu meruntuhkan dominasi para pengusaha asing. Oligopoli yang dibangun oleh para pengusaha dari perusahan Inggris, Belanda, dan Tiongkok yang pandai memanfaatkan peluang ternyata tetap menguasai pasar.

Program Benteng tahap dua dimulai pada masa Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap dua merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputra agar dapat bersaing dengan para pengusaha nonbumiputra. Jika pada awal tahun 1953 para importis pribumi hanya menerima 37,9% dari total ekspor-impor, maka mereka telah menerima 80-90% pada masa Kabinet Ali. Total dari 700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4.000 - 5.000 perusahaan. 

Program Benteng dinilai gagal karena salah sasaran. Banyak pengusaha bumiputra yang menjual lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non-bumiputra. Hal ini menimbulkan istilah perusahaan "Ali-Baba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputra, sedangkan "Baba" non-bumiputra. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telah menambah beban keuangannya sehingga menjadi salah satu sumber defisit. Program Benteng dianggap gagal karena salah sasaran. Selain itu, program ekonomi benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik. Program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.

Kabinet Natsir (September 1950 - Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir mengutamakan pembangunan perekonomian negara. Hal ini dianggap oleh partai oposisi telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua. Soekarno pun menyatakan hal yang sama bahwa masalah kemajuan dan tidak boleh dianggap rendah. Kondisi ini membuat Natsir berikeras agar Soekarno membatasi dirinya dalam peran presiden hanya sebagai lambang saja. Puncaknya, Natsir menyerahkan jabatannya dan digantikan oleh Sukiman pada April 1951.

Jatuhnya pemerintahan Kabinet Sukiman disebabkan adanya kegagalan dalam pertukawan nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan Mutual Security Act (MSA). Di dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan lebih condong ke blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.

Lain halnya dengan Kabinet Ali I yang merupakan kabinet koalisi antara PNI dan NU. Kabinet ini jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada ditubuh Angkatan Darat dan pemberontakan DI/TII yang berkecamuk di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di tambah pula dengan konflik antara PNI dan NU, yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang diuduk dikabinet. 

Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik. Akibatnya, program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini kemudian membuat Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Kamis, 17 Oktober 2024

Perkembangan Politik Indonesia Masa Demokrasi Liberal

Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Pembentukan negara federal yang diprakarsai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak mendapatkan tempat di hati masyarakat Indonesia. Banyak negara bagian yang menatkan ingin kembali ke negara kesatuan.

Pada 15 Agustus 1950, Perdana Menteri Kabinet RIS, Mohammad Hatta, kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Soekarno. Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

Maka, dimulailah usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah susah payah diperjuangkan. Masa revolusi fisik atau masa perjuangan harus segera ditinggalkan. Gangguan keamanan yang selama ini banyak menyita perhatian, waktu, dan dana negara harus segera digantikan dengan langkah-langkah konkret. Hal ini agar perbaikan berbagai bidang, seperti sistem politik dan pemerintahan, perekonomian, pertahanan, dan keamanan negara.

Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950, pemerintah Republik Indonesia masih melaanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab kepada parlemen. Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara.

Pada kurun waktu 1950-1959, kembali terjadi silih berganti kabinet. Kabinet jatuh bangun karena munculnya mosi tidak percata dari partai lawan. Di samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan.

Berikut ini sejumlah kabinet yang pernah memerintah pada masa Demokrasi Liberal.

  • 06/09/1950 - 21/03/1951 : Kabinet Natsir (Masyumi)
  • 27/04/1951 - 03/04/1952 : Kabinet Sukiman (Masyumi)
  • 03/04/1952 - 03/06/1953 : Kabinet Wilopo (PNI)
  • 31/07/1953 - 12/08/1955 : Kabinet Ali Sastroamidjojo I (koalisi PNI dan NU)
  • 12/08/1955 - 03/03/1956 : Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi)
  • 20/03/1956 - 04/03/1957 : Kabinet Ali Sastroamidjojo II (koalisi PNI, Masyumi, dan NU)
  • 09/04/1957 - 05/07/1959 : Kabinet Djuanda
Jatuh bangunnya kabinet-kabinet yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal lebih disebabkan oleh kegagalan-kegagalan atau dianggap gagal dalam mengendalikan pemerintahan. Contoh, Kabinet Wilopo yang harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen.

Pada 17 Oktober 1952, sejumlah perwira senior TNI-AD, Kepala Staf Angkatan Perang Mayor Jenderal T.B. Simatupang, Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution, dan para panglima tentara dan teritorium menghadap presiden. Tujuannya adalah menuntut presiden membubarkan parlemen karena menganggap para politisi tersebut terlalu mencampuri urusan internal TNI-AD, terutama masalah kepemimpinan TNI-AD. Sementara itu, terjadi demosntrasi di luar Istana Merdeka dan di belakang para demonstran telah berderet meriam milik pasukan arteri Resimen 7 di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris. Moncong-moncong meriam tersebut diarahkan ke Istana. Presiden Soekarno menolak tuntutan tersebut karena tidak mau dianggap diktator. Sebenarnya, sumber utama konflik adalah ketidakkompakan yang terjadi dalam tubuh TNI-AD sendiri. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya pergantian KSAD dari A.H. Nasution kepada Kolonel Bambang Sugeng.

Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I atau sering juga disebut dengan Kabinet Ali-Wongso (Ali Sastroamijoyo sebagai perdana menteri dan Wongsonegoro sebagai wakil perdana menteri), diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 18-15 April 1955. Konferensi ini dihadiri 19 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa-bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaanya kemudian dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

Rabu, 16 Oktober 2024

Perkembangan Politik dan Ekonomi Indonesia Masa Awal Kemerdekaan

Setelah proklamasi kemerdekaan, melalui sidang PPKI, Soekarno ditetapkan sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden. Pada masa ini, negara belum dapat mengatur sistem pemerintahan dengan sempurna. Negara masih menghadapi tantangan dan hambatan yang seringkali berujung pada terjadinya konflik bersenjata.

Ada hambatan dan tantangan yang berasal dari luar negeri, seperti kedatangan tentara Sekutu yang akan mengambil alih kekuasaan Jepang di Indonesia. Ada pula tantangan yang muncul dari dalam negeri sendiri berupa pemberontakan di beberapa wilayah di Indonesia.

Guna memenuhi alat kelengkapan negara yang sesuai dengan sistem pemerintahan dalam UUD 1945, dibentuklah kabinet pertama yang dinamakan Kabinet Presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Presidensial. Kabinet ini diketuai oleh Soekarno dengan masa jabatan 4 September - 14 November 1945.

Pada awal kemerdekaan, masih tampak adanyan sentraslisasi kekuasaan yang diperkuat dengan adanya Pasal 4 Aturan Peralihan UUD 1945, "Sebelum MPR, DPR, dan DPA dibentuk maka segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) ". Untuk menghindarkan absolutisme dari kekuasaan presiden yang mungkin terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa maklumat berikut.

  • Maklumat Wakil Presiden Nomor X 16 Oktober 1945 bahwa KNIP berubah menjadi lembaga legislatif.
  • Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai politik.
  • Maklumat Pemerintah 14 November 1945 tentang perubahan sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer.
Kabinet pertama tidak berlangsung lama, pada 14 November 1945, dibentuk Kabinet Republik Indonesia yang kedua yang dipimpin oleh Sutan Syahrir sebagai perdana menteri. Menjelang akhir 1945, keamanan di Jakarta semakin memburuk, tentara Belanda melakukan sejumlah aksi teror terhadap masyarakat. Kedatangan pasukan marinir Belanda di Pelabuhan Tanjung Priok pada 30 Desember 1945 semakin memperparah situasi. Mengingat situasi yang semakin memburuk itu, presiden dan wakil presiden memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke yogyakarta pada 4 Januari 1946 untuk sementara. Namun, Perdana Menteri Syahrir tetap berada di Jakarta untuk mempermudah hubungan dengan dunia Internasional demi kepentingan perjuangan.

Selanjutnya, perundingan yang dijalandkan pemerintah RI dengan Belanda tidak mendapat dukungand ari semua golongan. Akibatnya, Syahrir menyerahkan mandatnya kembali kepada presiden. Ketika pembentukan Kabinet Republik Indonesia yang ketiga, Soekarno tetap menunjuk Sutan Syahrir sebagai perdana menteri sehinga kabinetnya dinamakan Kabinet Syahrir II. Kabinet ini berakhir pada 2 Oktober 1946.

Selanjutnya, dibentuklah kabinet keempat, yaitu Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 - 3 Juli 1947). Pada tanggal yang sama, presiden kemudian mengeluarkan Maklumat Nomor 6/1947. Isinya menetapkan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan presiden. Melalui maklumat tersebut, akhirnya Kabinet Syahrir III masuk masa demisioner. 

Selanjutnya, pada 3 Juli 1947 dibentuk lagi kabinet yang kelima (3 Juli 1947 - 11 November 1947) dengan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Program kabinet ini memang tidak pernah diumumkan karena masih melanjutkan program-program dari kabinet sebelumnya.

Selanjutnya, pada 11 November 1947, dibentuk kabinet keenam dengan Amir Syarifuddin tetap pada posisi sebagai perdana menteri. Kabinet kembali dinyatakan demisioner pada 19 Januari 1948 arena mundurnya 5 orang menteri dari partai Masyumi. Kemudian, dibentuk kembali kabinet yang ke-7 dengan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri. Kabinet ini pun berakhir pada 4 Agustus 1948. Kondisi politik ketika itu masih berada dalam bayang-bayang ancaman perang dan konflik di dalam negeri.

Ketika Yogyakarta diserbu dan para pemimpin pemerintahan ditangkap pada 19 Desember 1948, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukittinggi. Kabinet PDRI dibentuk berdasar instruksi presiden kepada Syarifuddin Prawiranegara yang dikirim dari Yogyakarta sesaat sebelum tentara Belanda menguasai Yogyakarta. Kabinet PDRI ini dipimpin oleh Syarifuddin Prawiranegara dan berakhir pada 13 Juli 1949. Selanjutnya, PDRI digantikan oleh kabinet ke-8 dengan Mohammad Hatta kembali sebagai perdana menteri. Program kabinet ini tidak pernah diumumkan, tetapi usaha-usaha dan kebijakannya disesuakan dengan kepentingan negara pada saat itu.

Pada 20 Desember 1949 - 21 Januari 1950 dibentuk kabinet ke-9 yang dipimpin oleh Mr. Susanto Tirtoprodjo. Ia adalah seorang pimpinan kabinet yang berperan penting dalam kabinet masa transisi dari RI ke RIS. Kabinet ini dibentuk dan mulai bekerja ketika Perdana Menteri Mohammad Hatta bersama dengan menteri-menterinya diangkat menjadi Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 20 Desember 1949 - 6 September 1950. Kabinet ini sering juga disebut sebagai kabinet peralihan. Pada masa sebelumnya, yakni pada masa pemerintahan RIS, dibentuk pula kabinet yang dipimpin oleh Moh. Hatta. Kabinet ini merupakan satu-satunya kabinet yang dibentuk pada masa pemerintahan RIS.

Ketika Republik Indonesia menjadi negara bagian RIS, dibentuk kabinet yang dipimpin oleh dr. A. Halim. Kabinet ini bertugas dari 21 Januari - 6 September 1950. Usia kabinet ini pun sangat singkat, mengingat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada September 1950.

Selasa, 15 Oktober 2024

Sejarah Praktik Berdemokrasi di Indonesia

Demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, baik secara langsung maupun perwakilan. Sistem demokrasi pertama kali diterapkan di Yunani Kuno, tepatnya di Negara Kota (Polis) Athena. Secara etimologis, demokrasi berarti pemerintahan oleh rakyat. Ada dua jenis demokrasi, yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Pada demokrasi langsung, semua warna negara berpartisipasi langsung dan aktif dalam pengambilan keputusan. Adapun pada demokrasi perwakilan, rakyat memilih wakil-wakilnya di suatu lembaga perwakilan rakyat. Sistem demokrasi banyak dianut oleh negara dengan bentuk pemerintahan republik, baik berupa pemerintahan presidensial maupun parlementer. Salah satu pilar demokrasi adalah adanya prinsip trias politika, yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kesejajaran dan independensi di antara tiganya bersifat saling mengontrol (check and balances).

Di awali dengan kemenangan negara-negara Sekutu yang terdiri dari Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat terhadap negara-negara fasis, seperti Jerman, Italia, dan Jepang, pada Perang Dunia II. Selanjutnya, disusul dengan keruntuhan Uni Soviet pada awal abad ke XX, paham demokrasi secara perlahan mulai mendominasi tata kehidupan masyarakat dunia. Hingga awal abad XXI, suatu bangsa akan mendapat pengakuan sebagai negara yang beradab jika negara tersebut dapat menerima dan menerapkan demokrasi sebagai landasan di dalam mengatur tata negara.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjungjung tinggi demokrasi. Saat ini, Indonesia dianggap sebagai negara yang terbaik dalam melaksanakan demokrasi. Sebagaimana telah kita pahami, terdapat dua macam demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Sejak kemerdekaan sampai berakhirnya masa Orde Baru, Indonesia menganut paham demokrasi perwakilan.

Para pendiri bangsa (the founding fathers) melalui Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut paham demokrasi dalam tata pemerintahannya. Dalam pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat yang kemudian diserahkan melalui para perwakilannya di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hal inilah yang kemudian disebut dengan demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (representative democracy).

Mengapa para pendiri bangsa ketika itu menetapkan paham demokrasi di dalam sistem pemerintahan NKRI? Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikan para pendiri bangsa yang mengenyam pendidikan sistem barat.

Pada 1950, di bawah pemerintahan Soekarno, Indonesia kemudian memberlakukan UUD Sementara, yang berdampak pada penerapan model demokrasi parlementer murni atau demokrasi liberal. Penerapan demokrasi liberal ini tidak memberikan perubahan yag lebih baik, mengarah pada munculnya ketidakstabilan politik.

Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan diterapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdampak pada diterapkannya Demokrasi Terpimpin. Soekarno menyatakan sistem demokrasi terpimpin sebagai sistem demokrasi yang sesuai dengan ideologi negara yaitu Pancasila. Demokrasi Terpimpin membuat pengaruh komunis semakin menguat. Akibatnya, pada 1965, kestabilan sosial dan politik semakin meningkat. Puncaknya, terjadi peristiwa Gerakan 20 September 1965/PKI yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Sebuah tragedi nasional berlatar konflik dan pertentangan ideologi yang berjalan cukup lama dan memakan banyak korban jiwa. Peristiwa ini pula yang kemudian mengakhiri pemerintahan Presiden Soekarno.

Pengganti Soekarno adalah Soeharto yang kemudian menerapkan Demokrasi Pancasila yang menekankan kepada pentingnya musyawarah untuk mufakat. Demokrasi model inilah yang akhirnya dianggap paling sesuai dengan ideologi negara, yaitu Pancasila.

Demokrasi Pancasila ala Soeharto bertahan cukup lama, yaitu sekitar 32 tahun dan baru berakhir pada 21 Mei 1998. Setelah pemerintahan Soeharto berakhir, reformasi pun bergulir dengan naiknya B.J. Habibie sebagai presiden menggantikan Soeharto. Pada masa Soeharto dan awal Reformasi, presiden dan wakil presiden dipilih oleh anggota MPR. Barulah pada 2004, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.

Senin, 14 Oktober 2024

Tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa - Sri Sultan Hamengku Buwono IX

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memiliki nama asli Bendoro Raden Mas Dorodjatun. Beliau lahir di Yogyakarta pada tahun 1912 dan merupakan putra sulung Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sejak muda, Sri Sultan Hamengku Buwono IX telah mengecap pendidikan Belanda. Setelah lulus dari Hogere Burger School (HBS), ia melanjutkan kuliahnya ke Belanda di Rijksuniversiteit Leiden dengan mengambil dua jurusan sekaligus, yaitu ekoonomi dan indologie (keilmuan tentang Indonesia). Ketika Perang Dunia II meletus, Sri Sultan kembali ke tanah air, dan kemudian dilantik sebagai sultan menggantikan ayahnya.

Walaupun pendidikan Belanda sangat lekat dengan dirinya, hal tersebut tidak memengaruhi perilaku kesehariannya. Dalam sikap politiknya, ia sangat menentang Belanda dan ketidaksetujuannya dengan penjajah terus berlanjut ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Pascakemerdekaan Indonesia, ia terus aktif di dunia politik dan pernah menjabat sebagai menteri negara pada masa Kabinet Syahrir III, Amir Syarifuddin I, dan Kabinet Hatta I. Pada 25 Maret 1973, ia diangkat sebagai wakil presiden kedua pada masa Orde Baru.

Nasionalisme sultan tidak diragukan lagi dan telah ditunjukkan sejak awal pemerintahan RI. Ketika negara baru ini dibentuk, tanpa ragu ia menyatakan secara resmi bahwa Yogyakarta berada dalam wilayah NKRI. Hal ini menunjukkan sikap prointegrasi, meskipun sebagai raja ia dapat saja mempertahankan pemerintahannya sendiri di Yogyakarta.

Hamengku Buwono IX dikenal juga sebagai Bapak Pramuka Indonesia, penghargaan yang diterimanya dari Boy Scout od America. Lencana Tunas Kencana Pramuka Indonesia menunjukkan perhatiannya terhadap pembinaan generasi muda. Menurutnya, kegiatan kepemudaan harus mendapat perhatian serius dari pemerintah. Di tangan pemudalah semangat nasionalisme atau kebangsaan dan semangat cinta tanah air akan diwariskan untuk terus dipertahankan.

Peran penting Hamengku Buwono IX lainnya adalah ketika Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia dapat dikuasai Sekutu. Oleh karena itu, pada 4 Januari 1956, pusat pemerintahan dialihkan ke Yogyakarta. Soekarno dan Hatta serta yang lainnya beserta keluarganya juga pindah ke Yogyakarta.

Sultan Hamengku Buwono IX juga memiliki peran besar dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1946, ketika Belanda berhasil menguasai Yogyakarta selama 6 jam. Serangan tersebut dimaksudkan untuk memberikan peringatan kepada Belanda dan dunia interansional bahwa perjuangan rakyat Indonesia masih terus berlanjut.

Minggu, 13 Oktober 2024

Tokoh Pejuang Mempertahankan Integrasi Bangsa - Ahmad Yani

Ahmad Yani bergabung dalam Peta (Pembela Tanah Air) pada 1943. Selanjutnya, pada masa kemerdekaan, Ahmad Yani menjadi komandan TKR Purwokerto. Pada saat Agresi Militer Belanda I, pasukan yang dipimpinnya berhasil menahan serangan pasukan Belanda di daerah Pingit. Pada saat Agresi Militer Belanda II, ia pun dipercaya memegang jabatan Komanda Wehrkreise II di daerah Kedu.

Tak hanya berjuang melawan penjajah untuk meraih kemerdekaan, Ahmad Yani pun berperan dalam perjuangan mempertahankan integrasi bangsa. Ahmad Yani bersama pasukan Benteng Raiders berperan dalam penumpasan DI/TII di Jawa Tengah. Setelah itu, ia ditempatkan di staf angkatan darat. Pada 1955, ia disekolahkan di Command and General Staff Collage, Fort Leaven Worth, Kansas, Amerika Serikat, selama sembilan bulan. Pada 1958, saat terjadi peristiwa PRRI di Sumatra Barat, ia menjabat sebagai komandan komando Operasi 17 Agustus dalam penyelesaian masalah tersebut. Pada 1962, ia diangkat menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat menggantikan Jenderal A.H. Nasution. Ahmad Yani gugur sebagai Pahlawan revolusi pada 1 Oktober 1965 dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).