Sekolah Dasar

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Dasar

Sekolah Menengah Pertama

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Menengah Pertama

Sekolah Menengah Atas

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak materi Sekolah Menengah Atas

Materi Umum

Di halaman ini kamu akan mendapatkan banyak Pengetahuan Umum

Kelas Online

Jika kamu membutuhkan bimbingan untuk belajar online, kamu bisa gabung di kelas online.

Rabu, 20 November 2024

Gerakan Pemuda dan Mahasiswa yang Memengaruhi Perubahan Tata Negara di Indonesia - Tritura (Tri Tuntutan Rakyat)

Pada awal 1965, kondisi dan situasi politik semakin terasa tidak kondusif. Politik luar negeri Indonesia pun telah meninggalkan konsep bebas aktif. Indonesia membangun dengan hubungan dengan Tiongkok, dan membentuk poros Jakarta-Hanoi-Peking-Pyong Yang, dan sebagai konstelasi politik dunia yang baru. dengan demikian, Indonesia semakin jauh dari negara-negara Barat dan semakin sejalan dengan haluan politik dari negara-negara blok Timur. Sikap permusuhan juga ditujukan secara khusus terhadap Amerika Serikat, dan semakin memuncak ketika 7 Januari 1965, Indonesia menyatakan secara resmi keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Situasi politik dalam negeri sendiri semakin menunjukkan kondisi meresahkan. PKI berhasil melakukan konsolidasi dalam tubuh partainya sendiri sejak tahun 1960-1965. Pada masa itu, kegiatan politik yang muncul di permukaan selalu menonjolkan kegiatan PKI dalam segala bidang. Hal ini menunjukkan bahwa partai ini telah duduk dengan kokoh dalam percaturan politik di Indonesia. Di kalangan mahasiswa, berkembang perseteruan antara kelompok consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), organisai mahasiswa yang berafiliasi dengan PKI, dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Rapat-rapat yang diselenggarakan CGMI di Istora Senayan Jakarta, selalu bertemakan "Bubarkan HMI". Hal tersebut merupakan sebuah tindakan agresif yang ingin menekan Presiden Soekarno agar segera membubarkan HMI. Akan tetapi, Soekarno sendiri tetap bertahan dengan ide Nasakomnya (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dan tetap berkeinginan agar ketiga elemen politik tersebut tetap bersatu.

Konflik pro dan kontra terhadap PKI terus berlanjut hingga akhirnya bermuara pada sebuah tragedi nasional, yakni meletusnya peristiwa Gerakan 20 September 1965. Gerakan ini melibatkan anggota PKI dan kelompok tentara dari kesatuan Resimen Cakrabirawa yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Selama melakukan konsolidasi dan membangun kekuatan partai, PKI selalu memperlihatkan sikap-sikap nonkompromi terhadap mereka yang tidak berhaluan kiri. Perbuatan yang dinilai telah melebihi batas kemanusiaan ketika terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap para jenderal senior angkatan darat oleh Resimen Cakrabirawa, telah membangkitkan kemarahan di kalangan rakyat Indonesia. Gerakan mahasiswa non-komunis mulai bangkit dan membentuk organisasi baru yang mereka namakan Kesatuan Aksi Pengganyangan Kontra revolusi Gerakan Tiga Puluh September yang disingkat menjadi KAP Gestapu. Wadah baru organisasi mahasiswa ini juga menampung aspirasi masyarakat dan terus mengikuti perkembangan situasi.

KAP-Gestapu kemudian mengadakan rapat umum setelah sebelumnya mengadakan pertemuan untuk melakukan konsultasi dengan Letnan Jenderal Soeharto, (ketika itu menjabat sebagai Pangkopkamtib (Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban)) di Taman Surapati, Jakarta, pada 8 Oktober 1965. Hasil rapat tersebut menghasilkan kesepakatan, di antaranya tetap berada di belakang Presiden Soekarno dalam menumpas G30S dan mendesak Presiden agar segera membubarkan PKI dan semua ormas-ormasnya. Puncak gerakan KAP-Gestapu adalah ketika berhasil mengerahkan massa secara besar-besaran pada 9 November 1965 di Lapangan Banteng, Jakarta. Pada Januari, KAP-Gestapu menjadi Front Pancasila dengan kegiatan yang lebih berfokus dalam bidang politik.

Gerakan para mahasiswa ini terus berlanjut, namun berjalan sendiri-sendiri di kota-kota besar di seluruh Indonesia. Mereka dengan aktif mengadakan rapat-rapat dan menyerukan anti-PKI. Kegiatan ini akhirnya menghasilkan pemikiran untuk membentuk sebuah wadah yang dapat mempersatukan gerakan agar perjuangan berjalan semakin efektif. Paa 25 Oktober 1965, diadakan pertemuan dari seluruh pimpinan mahasiswa di rumah Menteri Perguruan Tinggi Ilmu Pengetahuan (PTIP), Syarif Thayeb. Dari hasil pertemuan ini, akhirnya dibentuk wadah baru bagi gerakan mahasiswa Indonesia dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Meskipun pada awal pembentukannya KAMI belum memiliki anggara dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART), KAMI telah memiliki tekad dan perjuangan, yakni:

  1. mengamankan dan mengamalkan Pancasila
  2. anti kepada Nelikom (neokolonialisme dan imperialisme) dan segala bentuk penjajahan, dan
  3. membantu ABRI mengganyang G30S dan PKI beserta ormas-ormasnya.
Smentara itu, kondisi perekonomian negara semakin merosot. Hal ini menimbulkan keprihatinan bagi KAMI, terutama ketika pemerintah mengumumkan pemotongan nilai mata uang rpiah dari nilai semula Rp1.000,- menjadi Rp1,- utuk nilai uang baru. Kebijakan ini dilakukan pemerintah untuk mengatasi laju inflasi yang telah mencapai 650%. Masalah lain yang meresahkan adalah ketika Presiden Soekarno belum juga membubarkan PKI yang menjadi tuntutan utama masyarakat. Gelombang demonstrasi para pemuda dan mahasiswa yang menuntut pembubaran PKI semakin meluas bahkan mengarah pasa situasi konflik politik. Perasaan tidak puas mencetuskan lahirnya Tri Tuntutan Rakyat (Tritura).

Pada 12 Januari 1966, KAMI bersama-sama dengan rayat beserta Front Pancasila dan kesatuan aksi lainnya mendatangi DPR-GR mengajukan Tritura yang berisi:
  1. pembubaran Partai Komunis Indonesia,
  2. pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S dan PKI, dan 
  3. penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Aksi demonstrasi terus bergulir. Mahasiswa dan rakyat bergerak setiap hari memenuhi jalan-jalan di ibu kota. Hal ini berlangsung selama 60 hari. Menanggapi aksi mahasiswa ditambah dengan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Presiden Soekarno kemudian mengundang perwakilan mahasiswa/pelajar untuk mengikuti Sidang Paripurna Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor. Akan tetapi, di dalam sidang tersebut Presiden Soekarno menuding aksi mahasiswa yang terjadi telah ditunggangi oleh kekuatan Nekolim, khususnya oleh Central Intelligenie Agency (CIA). Presiden Soekarno kemudian mengajar para mahasiswa/pelajar dan seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk "Barisan Soekarno". Namun, upaya ini mengalami kegagalan. Bahkan, ketika pelantikan anggota Kabinet Dwikora pada 24 februari 1966, para demonstran kembali melakukan aksi serentak turun ke jalan dengan melakukan pengempisan ban-ban kendaraan roda empat yan gmelintas di jalan raya. Akibatnya lalu lintas ibu kotra praktis terhenti. Dalam bentrokan dengan aparat keamanan, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Arief Hakim tewas tertembak peluru aparat. Terjadinya insiden berdarah ini membuat situasi semakin memanas, ditambah lagi dengan krisis kepemimpinan nasional. Melihat perkembangan kondisi ini, Presiden Soekarno kemudian memutuskan untuk membubarkan KAMI.

Meskipun KAMI dibubarkan, aksi pergerakan massa tidak ikut berhenti. Para peimimpin KAMI merasa perlu membentuk wadah baru yang akan meneruskan perjuangannya sehingga terbentuklah Laskar Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Gelombang demonstrasi terus berlanjut hingga ke berbagai kota di Indonesia, yang terus menyuarakan Tritura. Ketika pemerintahan Presiden Soekarno mendekati masa akhir pembubaran PKI dilaksanakan oleh Jenderal Soeharto sebagai pengemban amanah Surat Perintah 11 Maret 1966 pada 12 Maret 1966. Sejaksaat itu, Jenderal Soeharto lebih berperan banyak di pemerintahan. Pada akhirnya, Soeharto diangkat menjadi Presiden RI ke-2 menggantikan Presiden Soekarno dan dimulailah masa Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru bertekad untuk melakukan koreksi secara total atas segala penyelewengan yang dilakukan Demokrasi Terpimpin.

Selasa, 19 November 2024

Gerakan Pemuda Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan, memang tidak dengan serta merta membawa Indonesia ke dalam situasi yang aman dan tenteram. Layaknya sebuah negara yang baru saja menikmati kebebasan dari cengkraman kolonialisme, masih banyak persoalan pemerintahan, politik, dan ekonomi yang harus diselesaikan. Berbagai peristiwa pengalihan kekuasaan terjadi di hampir semua kota di Jawa dan Sumatra. Hal ini seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk memperkuat barisan pemuda. Seruan dan tulisan-tulisan bernada heroik, sepperti "Merdeka atau Mati" dan "Sekali Merdekar Tetap Merdeka", terdengar dan tertulis dimana-mana. Bendera Merah Putih dikibarkan di kantor-kantor penting. Situasi ini akan dengan mudah memicu konflik dengan pihak Jepang.

Para pemuda juga menentang simbol-simbol yang menunjukkan kesan akan kembalinya kekuasaan Belanda di Indonesia, seperti ketika di Hotel Yamato, Surabaya, dikibarkan bendera Belanda yang berwarna merah, putih, dan biru. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut pada 19 September 1945. Beberapa orang dari mereka naik ke tiang bendera untuk menurunkan bendera tiga warna itu, merobek warna birunya, dan mengibarkan kembali dengan warna merah dan putih.

Peristiwa yang sangat mengundang risiko ini telah menunjukkan adanya keinginan yang dalam dari bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan meskipun harus berkorban jiwa. Insiden bendera ini selalu menjadi kenangan bagi bangsa Indonesia karena semangat patriotis yang ditunjukkan oleh para pemuda yang sangat spontan dan tanpa pamrih. Sama halnya dengan peristiwa Rapat Raksasa di Lapangan Ikada yang terjadi di Jakarta. Ketika massa pemuda berkumpul di Lapangan Ikada untuk mendengarkan Presiden Soekarno berpidato setelah pelaksanaan proklamasi. Namun karena alasan keamanan, Soekarno membatalkan pidatonya.

Pada masa awal kemerdekaan, pemerintahan yang baru terbentuk ini harus menghadapi sejumlah permasalahan yang harus segera diselesaikan, seperti menyusun pemerintahan, membentuk Komite Nasional sebagai pembantu presiden mengurus tawanan Jepang, menyelesaikan sejumlah konflik yang terjadi antara para pemuda dan rakyat, baik dengan tentara Jepang maupun dengan tentara Sekutu dan NICA yang sudah mulai berdatangan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang.

Bentrokan bersenjata terbesar antara para pemuda dan tentara Jepang terjadi di Semarang. Ribuan pemuda gugur dalam pertempuran yang berlangsung selama lima hari. September hingga memasuki awal November 1945, keadaan di Indonesia memang semakin rumit dan genting. Hal ini disebabkan masuknya tentara Sekutu ke kota-kota besar di Jawa.

Awalnya, kedatangan tentara Sekutu dalam kesatuan South East Asian Command (SEAC) di bawah pimpinan Laksamana Lord Louis Mountbatten, disabut biasa saja oleh bangsa Indonesia. Pasukan khusus dari SEAC yang ditugaskan untuk menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang adalah Allied forces Netherlands Eas Indies. Pasukan khusus tersebut membawa serta orang-orang Belanda dalam kesatuan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Tujuan kedatangannya adalah untuk menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda.

Rakyat Indonesia dengan cepat memberikan reaksi melalui pertempuran yang tercatat dalam sejarah, antara Oktober hingga Desember 1945 terjadi pertempuran di Medan, Palembang, Surabaya, dan Bandung. Pertempuran terbesar terjadi di Surabaya pada 10 November 1945. Ribuan nyawa melayang demi mempertahankan kemerdekaan. Untuk mengenang peristiwa tersebut, setiap 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Di Bandung, perjuangan rakyatnya kemudian dikenang sebagai peristiwa Bandung Lautan Api. Peran pemuda dalam periode mempertahankan kemerdekaan ini sangat besar. Mereka berjuang bersama dan mengangkat senjata demi kehormatan bangsa Indonesia.

Senin, 18 November 2024

Gerakan Pemuda Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang

Kegiatan pemuda Indonesia pada masa kependudukan Jepang secara umum terbagi dalam tiga hal, yaitu :

  1. gerakan organisasi pemuda yang bersifat militer dan semimiliter
  2. organisasi pemuda yang bergerak secara sembunyi-sembunyi atau yang lebih dikenal dengan gerakan bawah tanah, dan
  3. organisasi pemuda bentukan Jepang yang disiapkan menbantu Jepang menghadapi Perang Asia Timur Raya.
Pada 1943, organisas-organisasi militer dan semimiliter mulai dibentuk, diantaranya Keibodan, Heiho, Seinendan dan Peta, Giyugun di Sumatra, serta Fujinkai yang diperuntukkan khusus untuk perempuan. Dalam kelompok semimiliter dan militer ini, Jepang memilih para pemuda Indonesia dengan kategori usia 14-25 tahun. Selain diberi pendidikan militer, mereka juga dikenalkan dengan berbagai budaya dan tradisi Jepang. Seinendan yang merupakan sumber kekuatan pertahanan, diharapkan dapat bergerak di semua kegiatan. Mereka diberi latihan kemiliteran dan indoktrinasi budaya serta tradisi Jepang selama 1,5 tahun secara ebrsama-sama dengan aseluruh anggota Seinendan dari seluruh Pulau Jawa. Demikian pula dengan Keibodan yang dibentuk untuk membantu tugas-tugas kepolisian dan secara khusus diberikan latihan cara-cara menjaga keamanan, meliputi wilayah udara, pantai, dan laut.

Mereka dilatih untuk dapat melakukan penyelidikan terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat, mencari penjahat, dan mengawasi orang-orang yang tidak dikenal atau yang dicurigai pemerintah. Sama halnya dengan Seinendan, Keibodan juga mendapat latihan dasar-dasar kemiliteran secara umum dan intensif. Selain itu, ada Heiho yang diperuntukan bagi para pemuda yang berhasil menamatkan pelajaran di sekolah menengah. Mereka mempunyai tugas khusus, yaitu menjadi bagian dari kegiatan angkatan perang Jepang yang tersebar di semua wilayah kekuasaan Jepang sebagai pembantu prajurit Jepang. Adapun Pembela Tanah Air (Peta), dibentuk dengan tujuan khusus, yaitu bekal bagi  bangsa Indonesia ketika merdeka untuk dapat mempertahankan wilayahnya. Selain memperoleh pendidikan kemiliteran, anggota Peta juga diberi keterampilan memimpin pasukan dan strategi pertahanan. Tidaklah mengherankan tokoh-tokoh utama yang berasal dari tentara Peta banyak yang bergabung menjadi Tentara Nasional Indonesia.

Para pemuda yang bersikap nonkooperatif dan tidak menyukai fasisme Jepang, memilih melakukan gerakan bawah tanah. Umumnya gerakan ini dilakukan dan dimotori oleh para pemuda yang tinggal di asrama-asrama mahasiswa, seperti asrama Angkatan Baru Indoensia yang berlokasi di Jalan Menteng Raya 31, asrama mahasiswa di Jalan Prapatan 10, dan kelompok mahasiswa dari Jalan Bungur 56. Syahrir dan Amir Syarifuddin merupakan dua orang motor penggerak organisasi bawah tanah ini. Mereka memiliki idealisme yang kuat untuk tercapainya kemerdekaan yang harus direbut dengan tangan bangsa Indonesia sendiri. Sikap menolak kerja sama dengan pemerintah, membuat kelompok ini sering menemui konflik dengan penguasa Jepang.

Adapun organisasi-organisasi bentukan Jepang lainnya adalah Gerakan Tiga A (3A), Djawa Hokokai, Putera yang dipimpin oleh tokoh-tokoh, seperti Bung Karno, Bung Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K. H. Mas Mansyur. Mereka dikenal dengan nama 4 Serangkai yang bertugas melakukan mobilisasi umum, seperti pengarahan tenaga Romusha dan melakukan persiapan-persiapan penting bagi sebuah negara merdeka (Cuo Sangi In).

Kemerdekaan Indonesia akhirnya dapar diperoleh berkat perjuangan bangsa Indonesia. Sejak saat itu terjadi perubahan dalam tata negara, dari negara terjajah menjadi negara merdeka.

Minggu, 17 November 2024

Tokoh Pergerakan Kaum Muda dan Pemikirannya - Maria Walanda Maramis

Maria Walanda Maramis berasal dari manado yang lahir pada 1872 dan berasal dari keluarga yang cukup mapan. Pada 1878, kedua orang tuanya wafat karena wabah penyakit kolera. Setelah kedua orang tuanya meninggal, ia beserta saudara-saudaranya diasuh oleh paman dari pihak ibu yang juga merupakan keluarga terpandang di Maumbi. Ia dan kakak perempuannya, Ance, kemudian disekolahkan di Sekolah Melayu, Maumbi, dengan pelajaran utamanya membaca, menulis, berhitung, dan menyanyi.

Pada 1890, Maria kemudian menikah dengan Joseph Frederick Calesung dan dikaruniai tiga orang anak. Maria sebenarnya masih ingin melanjutkan sekolah ke Batavia, tetapi tidak diizinkan oleh pamannya. Suaminya adalah seorang guru bahasa Melayu dan mengajar di salah satu sekolah Belanda di Manado, sehingga setelah menikah Maria pindah lagi ke Manado.

Pada 1917, Maria mendirikan organisasi yang diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT). Maria sangat mengagumi Kartini yang telah memberinya inspirasi untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan agar memperoleh persamaan hak dengan laki-laki terutama dalam memperoleh pendidikan. Meskipun secara formal tidak lagi mendapat kesempatan untuk memperoleh pendidikan, Maria banyak belajar dari seorang pendeta bernama Jan Ten Hoeven. Pendeta inilah yang banyak mengajarkan pengetahuan kemasyarakatan, adat istiadat, dan tata cara Barat di samping hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Maria banyak memperoleh pengetahuan mengenai suku bangsa di dunia dengan berbagai kehidupan, kebiasaan, dan adat istiadat yang dimilikinya.

sumber : www.ikpni.or.id

Maria berpendapat bahwa perempuan seharusnya diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan agar menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anaknya. Dalam organisasi PIKAT, Maria merumuskan tiga tujuan utama, yaitu sebagai berikut.

  1. menyediakan wadah bagi perempian Munahasa agar saling mengenal dan bergaul
  2. membina dan mendidik kaum muda perempuan Minahasa sebagai calon ibu yang akan melahirkan generasi penerus bangsa
  3. membiasakan perempuan Minahasa untuk mengemukaan dan merumuskan pendapat, pandangan, serta pemikirannya secara bebas.
Maria juga memiliki kemampuan menulis. Ia membuat sejumlah artikel yang dimuat pada surat kabar lokal. Kemampuan menulis ini kemudian menjadi alat yang ampuh dalam mengembangkan program-program PIKAT. cita-citanya adalah menerbitkan majalah bagi perempuan dan mendirikan sekolah kerumahtanggaan. Sekolah ini akhirnya didirikan dengan syarat utama bagi siswi yang berminat harus sudah menamatkan Hollans Inlandsche School (HIS). Sekolah ini bukanlah sekolah keahlian, tetapi lebih berperan sebagai wadah untuk melatih para perempuan muda dalam mengelola rumah tangga dengan cara-cara yang modern. Sekolah ini kemudian memperoleh pengesahan dari pemerintah Belanda pada 19 Januari 1919.

Sabtu, 16 November 2024

Tokoh Pergerakan Kaum Muda dan Pemikirannya - Silas Papare

Silas Papare lahir di Serui, Papua, pada tanggal 18 Desember 1918. Ia berhasil menamatkan pendidikan di Sekolah Juru Rawat pada 1935. Pemikirannya ia curahkan bagi terbebasnya Indonesia dari kekuasaan Belanda serta membebaskan tanah kelahirannya, Irian Barat, dari kekuasaan Belanda. Ia juga tercatat aktif di percaturan politik dengan mendirikan sebuah partai.

Demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, di bawah bimbingan Harjono dan Suprapto, ia membentuk Komite Indonesia Merdeka (KIM) pada tanggal 29 September 1945. Komisi tersebut dimaksudkan untuk menghimpun kekuatan, mengatur strategi dan memulangkan para tawanan. Perjuangan ia lanjutkan pada Desember 1945, bersama Marthen Indey dan Cornelis Krey, untuk mempengaruhi Batalion Papua agar mau memberontak terhadap Belanda guna mewujudkan kemerdekaan di tanah kelahirannya. Namun, usaha tersebut terendus oleh pihak Belanda dan menemui jalan buntu meski sempat mendatangkan bantuan dari Rabaul (Papua Timur). Ia pun dipenjarakan di Holandia (Jayapura) bersama Marthen Indey.

Silas Papare terus mencoba untuk mengusik kekuasaan Belanda dengan mendirikan sebuah partai politik bernama Partai Kemerdekaan Irian pada 23 November 1946 di mana ia bertindak sebagai ketua umum. Pihak Belanda yang tak menyukai pendirian partai tersebut, kembali menangkap Silas Papare dan memenjarakannya di Biak.

sumber : www.papua.go.id

Setelah menghirup alam kebebasannya kembali, Konferensi Meja Bundar pada 1949 yang diproyeksikan sebagai penyelesaian konflik antara Indonesia dengan Belanda, melibatkan Silas Papare sebagai delegasi Republik Indonesia mewakili Partai Kemerdekaan Irian. Ia juga terlibat dalam pembentukan Kompi Irian di Markas Besar Angkatan Darat dengan tujuan mengembalikan Irian ke pangkuan Indonesia pada forum internasional tahun 1951. Pemerintah lalu membentuk Provinsi Irian Barat sebagai tandingan Pemerintah Belanda pada 1954. Titik terang baru nampak ketika perundingan di New York yang menghasilkan "New York Agreement" di mana Belanda setuju mengembalikan Irian ke pemerintah Republik Indonesia. Silas Papare ditunjuk pemerintah menjadi anggota delegasi Indonesia mewakili Irian Barat pada perundingan yang diselenggarakan pada 1962 tersebut.

Silas Papare memberikan andil besar bagi kembalinya Irian menjadi bagian integral Republik Indonesia. Ia menjadi pelopor bagi tumbuhnya cinta tanah air dan nasionalisme di Papua. Pemerintah membalas jasanya dengan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada 14 September 1993.

Jumat, 15 November 2024

Tokoh Pergerakan Kaum Muda dan Pemikirannya - Mohammad Natsir

Semangat Islam begitu mendarah daging dan mengilhami untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme. Mohammad Natsir adalah seorang yang turut berkontribusi besar dalam percaturan politik Indonesia dalam mengapai kemerdekaan. Perkenalannya dengan A. Hasan, seorang pembaharu Islam, ketika bersekolah di Bandung, membawa Ntsir semakin mendalami pengetahuannya tentang Islam.

Mohammad Natsir menempuh pendidikan awalnya di Sekolah Kelas II di Maninjau pada 1916. Hanya berselang beberapa bulan, ia memutuskan untuk pindak ke sekolah swasta, Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Keinginannya untuk mengenyam pendidikan di HIS milik pemerintah harus terbentur akibat ayahnya hanya seorang pegawai rendahan. namun, ketika pemerintah membuka HIS di Solok, ia diterima dan langsung duduk di kelas dua.

Pasca menamatkan pendidikannya di HIS, Natsir bersekolah di Meer Uitgebreid Lageree School (MULO) di Padang lewat jalur beasiswa. Pendidikan di MULO berhasil ia rapungkan pada 1927. Natsir kemudian meneruskan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS), mengambil jurusan sastra Barat klasik dan lulus tiga tahun berselang. Ia sempat menolak tawaran beasiswa di Recht Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) karena ingim memperdalam ajaran Islam.

Nafas pergerakan seorang Natsir diasah melalui berbagai organisasi. Ketika masih sekolah, ia masuk organisasi Natipij. Ia juga bergabung dengan Jong Islamieten Bond (JIB), bahkan menduduki jabatan sebagai wakil ketua pada 1929-1932 ketika ia di Bandung. Kegemilingannya di JIB membawanya mengemban jabatan sebagai ketua Kern-Lichaam (Badan Inti) JIB Pusat. Sementara itu, demi memajukan dunia pendidikan, terutama Islam, ia mendirikan sekolah sendiri bernama Pendidikan Islam.

Berawal dari keaktifannya di JIB, Natsir mulai merambah dunia politik dengan menjadi Ketua Parati Islam Indonesia (PII) Cabang Bandung. Ketika Jepang mulai menggantikan Belanda untuk menduduki Nusantara, Natsir memegang jabatan sebagai Kepala Jawatan Pengajaran Kotapraja Bandung dan menjadi Sekretaris Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI). MIAI merupajan cikal bakal Majelis Syuro Mislimin Indonesia (Masyumi). Setelah Indonesia merdeka, Natsir memegang pucuk pimpinan partai tersebut pada 1948 sampai 1959.

Natsir dipecaya menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) pada November 1945. Karir politiknya berlanjut dengan menduduki jabatan Menteri Penerangan pada tiga kabinet yang berbeda, yakni Kabinet Syahrir, Amir Syarifuddin, dan Hatta. Ia sempat dipenjarakan ketika Belanda berhasil menduduki Ibu Kota Yogyakarta, 19 Desember 1948.

Setelah tercapai kesepatakan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda melalui Konferensi Meja Bundar akhir 1949, sebagai konsekuensinya, Indonesia berbentuk negara serikat (Republik Indonesia Serikat) yang terdiri dari beberapa negara bagian, Natsir menolak konsep tersebut dengan mengajukan "Mosi Integral Natsir". Mosinya diterima oleh parlemen dan Indonesia kembali menjadi neagara kesatuan semenjak 17 Agustus 195.

Kembalinya Indonesia menjadi negara kesatuan ternyata menyebabkan beberapa konflik yang muncul dari daerah. Sebagai Perdana Menteri sejak 6 September 1950, Natsir harus menghadapi berbagai persoalan seperti separatisme yang dilancarkan oleh Andi Aziz, Republik Maluku Selatan, DI/TII; masalah otonomi di Aceh; serta mengembalikan laskar pejuang ke masyarakat. Kabinet yang dipimpinnya tak bertahan lama. Ia harus melepaskan jabatannya sejak April 1951 dan kembali memimpin fraksi Masyumi di Parlemen (1951-1958) serta Konstituante (1956-1958).

Tak hanya berkiprah di bidan gpolitik, latar belakang pendidikan agamanya yang kuat sejak kecil membawanya mendapat pengakuan dunia internasional. Pada 1976, ia diangkat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami yang berpusat di Karachi, Pakistan serta menjadi anggota Liga Muslimin Dunia. Ia juga tercatat sebagai bagian dari Majelis Ta'sisi rabithah Alam Islami pada 1972. Tak lama ia diganjar penghargaan "Faisal Award" dari Kerajaan Arab Saudi.

Setelah tak aktif di bidang politik praktis, Natsir masih menyumbangkan perannya bagi pemerintah Indonesia. Ia turut membantu pemerintah dalam pemulihan hubungan dengan beberapa negara seperti Malaysia, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah.

Natsir menghembuskan nafas terakhirnya pada 7 februari 1993. Namun, jejak jasanya bagi Indonesia begitu terasa. Tak hanya memajukan dunia keislaman Indonesia yang mampu melancarkan agitasi terhadap pendudukan asing, tetapi ia mampu menumbuhkan sikap cinta tanah air serta menjada Indonesia tetap bersatu. Sebagai bentuk apresiasi, Pemerintah Indonesia mengganjarnya gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.